Selasa, 05 April 2016

Kartini: Pahlawan Penuh Kontroversi "Door Duisternis Tot Licth"



KARTINI PAHLAWAN PENUH KONTROVERSI :
DOOR DUISTERNIS TOT LICTH
(HABIS GELAP TERBITLAH TERANG)

RADEN ADJENG KARTINI, mungkin sudah tak asing lagi di telinga kita mendengar nama itu. R. A. Kartini atau lebih tepatnya disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Wanita kelahiran Jepara, Jawa Tengah, tanggal 21 April 1879, ini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
R.A. Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang di angkat menjadi bupati Jepara segera setelah Kartini lahir. Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Namun, M. A. Ngasirah ini bukanlah seorang bangsawan tinggi. Di lihat dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Garis keturunan Bupati Sosroningrat bahkan dapat ditilik kembali ke istana Kerajaan Majapahit.
Awalnya, ayah Kartini adalah seorang wedana di Mayong. Tapi, karena peraturan colonial saat itu, yang mengharuskan seorang bupati beristerikan bangsawan, ayahnya memutuskan untuk menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan, yang mana adalah keturunan langsung dari Raja Madura. Setelah pernikahan itulah ayah Kartini menjadi bupati Jepara, menggantikan kedudukan R.A.A. Tjitrowikromo, ayah kandung R.A. Woerjan.
Kartini adalah anak kelima dari sebelas bersaudara kandung dan tiri. Dan dari kesemua saudara sekandung, Kartini merupakan anak perempuan tertua. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sinilah Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Namun Kartini tak hanya berdiam diri di rumah. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, di rumahnya ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-temannya yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak memberikan dukungan. Dari buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tahu dan mulai tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Hingga timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Perhatian Kartini tidak hanya soal emansipasi wanita, tapi juga masalah social umum. Dari surat-suratnya terlihat bahwa Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian. Terkadang Kartini juga menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Kartini melihat perjuangan wanita untuk memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli. Lalu buku De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Dan semuanya berbahasa Belanda.
Kartini di suruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri, oleh orang tuanya. Akhirnya kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya yang mengerti keinginan Kartini, memberi Kartini kebebasan dan memberi dukungan untuk mendirikan sebuah sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, sekarang digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Anak pertama sekaligus anak terakhir Kartini, yang bernama Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada 13 September 1904. Dan pada 17 September 1904, Kartini meninggal di usianya yang ke-25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. Namun seperti kata pepatah, “harimau mati meninggalkan taring, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama”, Kartini meninggalkan pengaruh yang cukup besar di kalangan masyarakat. Berkat kegigihan Kartini, k didirikan lah Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, menyusul di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis asal Belanda.
Setelah Kartini meninggal, tak lantas namanya dilupakan oleh orang-orang. Namanya terus terkenang dengan dibukukannya surat-surat yang pernah dikirimkan oleh Kartini kepada teman-temannya di Eropa oleh Mr. J.H. Abendanon. Saat itu, Abendanon menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang secara harfiah berarti, "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada tahun 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Terbitnya surat-surat Kartini, yang hanya seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini.
Namun, sebaik-baik Kartini di mata banyak orang, ada saja kontroversi dalam perjalanan dan perjuangannya, bukannya semasa dia hidup tapi justru setelah dia sudah tiada.
Beberapa kalangan meragukan kebenaran surat-surat Kartini atau menganggapnya hanya hoax belaka. Ada dugaan bahwa J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk orang yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno, jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.
Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga sedikit diperdebatkan. Pihak yang kontra dengan hal itu , mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasannya adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih banyak pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini, seperti Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, Dewi Sartika dan lain-lain. Dan Kartini mendapatkan hari besarnya sendiri dan ditetapkan khusus oleh pemerintah, sedangkan pahlawan wanita lainnya hanya diperingati setiap kali Hari Pahlawan.
Pada tanggal 2 Mei 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Kartini ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia, padahal tidak benar-benar ikut  andil layaknya seorang pahlawan yang turun ke lapangan untuk berperang melawan penjajah. Setelah kita membaca kisah Kartini, kita tahu bahwa Kartini hanya bersurat-suratan dengan teman-teman penanya. Tentu tanpa adanya peranan dari teman-temannya ini, yang selanjutnya berinisiatif mempublikasi isi surat-surat Kartini ke dalam sebuah buku, mustahil Emansipasi Wanita ini terwujud hingga sekarang ini. Lain halnya jika pada waktu itu Kartini buka suara, dan berpidato di depan orang banyak mengenai pemikiran-pemikiran hebatnya ini. Mungkin gelar pahlawan bisa lebih melekat erat pada namanya.
Sikap Kartini yang pro terhadap poligami, juga di anggap bertentangan dengan pandangan kaum feminis tentang arti emansipasi wanita. Dan berbagai alasan lainnya.
Tapi, di luar semua kontroversi tentang perjuangan Kartini tersebut, di mata saya, Kartini tetaplah sosok yang mengagumkan. Sosok cerdas yang dengan pemikiran-pemikirannya mampu memengaruhi banyak orang, tak hanya di Indonesia tapi juga di Eropa.
Dan seperti halnya beberapa warisan kolonial Belanda lainnya yang sampai sekarang masih dipertahankan dan dijadikan acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, seperti peraturan perundangan-undangan dan hukum, maka kepahlawanan seorang R.A. Kartini sepenuhnya menjadi tanggung jawab kita sebagai bangsa, apakah akan terus dipertahankan atau dikoreksi kebenarannya.
Sumber rujukan :
http://forum.viva.co.id/indeks/threads/kontroversi-ra-kartini-pahlawan-wanita-hasil-rekayasa-belanda.1129535/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar