Kamis, 19 Mei 2016


Hai semua......
Ini adalah cerita pertama yang dibuat oleh author sampe selesai.
Jadi, mohon dimaklumi kalo masih banyak typo dan ceritanya aneh..
Selamat membaca \^.^/
 
 
 
PERMAINAN DI MASA LALU

Karya : Halimah Indah Sari


“Sudah ku bilang aku tidak selingkuh!” Teriak seorang pria paruh baya yang sedang mengendarai mobil.

“Bohong! Aku melihatmu bersama wanita itu dengan mata kepalaku sendiri. Kau tidak bisa mengelak lagi.“ balas sang istri.

Mobil yang dikendarai sang suami melaju dengan sangat cepat. Untungnya saat itu tengah malam sehingga jalanan sedikit lengang. Penumpang mobil yang dikendarai oleh pria paruh baya tersebut tidak hanya dia dan istrinya, tapi juga ada seorang gadis kecil, anak pasangan suami istri yang sedang bertengkar itu. Gadis kecil itu terbangun oleh suara berisik pertengkaran kedua orang tuanya.

“Mama, Papa, kenapa berisik?“ Tanya gadis kecil tersebut sambil mengucek mata menggunakan kedua tangannya. Pertanyaan gadis kecil tersebut tak dihiraukan oleh kedua orang tuanya.

“Aku nggak mau tahu. Pokoknya aku mau cerai!“ Teriak sang istri lagi.

“Apa kau gila. Ini hanya sebuah kesalahpahaman. Dan kau memintaku menceraikan mu?“ Balas sang suami.

Akibat pertengkaran itu, sang suami menjadi kurang fokus menyetir. Berkali-kali ia menengok kearah sang istri, berusaha meyakinkan sang istri bahwa itu hanyalah sebuah kesalahpahaman. Tapi sang istri tetap keras kepala dan tidak mau mempercayai perkataan sang suami.

“Aku sudah lelah dengan semua ini. Sekalipun aku mempercayaimu, aku sudah tidak bisa lagi mempertahankan pernikahan ini.“ ucap sang istri lemah. Tiba-tiba emosi sang suami meledak.

“Apa maksudmu hah! Apa yang membuatmu begini? Selama ini aku selalu mempercayaimu.“ bentak sang suami.

“Kau! Selama ini aku juga mempercayaimu. Tapi apa daya, aku sudah tidak tahan melihat kebersamaan antara kau dengan sekretarismu itu. Sekalipun kau mengatakan ini hanyalah sebuah kesalahpahaman. Aku sudah muak dengan semua ini!“ balas sanga istri tak kalah kencangnya.

“Lalu, sekarang apa maumu, hah?” Tanya sang suami dengan bentakan.

 “Sudah ku bilang aku minta cerai!“ Balas sang istri singkat.

“Papa, awas pohon!“ sebuah suara menyadarkan mereka, didalam mobil ada orang lain, anak mereka. Sontak mereka melihat kearah depan. Didepan mereka ada sebuah pohon besar  yang berdiri dengan kokohnya. Sang suami membanting setir, tapi sayang semuanya sudah terlambat.

“Brakk”

 Mobil itu menabrak pohon besar tersebut. Asap keluar dari kap mobil bagian depan.

“Papa… Mama...,“ hanya suara rintihan dari si gadis yang terdengar. Setelah itu semuanya menjadi sunyi. Gelap.

***
 
Nara’s view

 
Hosh... hosh….

Aku terbangun dari tidurku. Aku terbangun dengan terengah-engah, keringat dingin mengucur di sekujur tubuhku. Aku kembali bermimpi tentang peristiwa itu. Peristiwa yang merubah hidupku. Peristiwa yang terjadi Sepuluh tahun silam. Peristiwa itu telah merenggut semua dariku. Orang tuaku, kebahagiaanku, dan hidupku. Aku tak pernah bisa untuk melupakannya. Tapi aku juga tak pernah mencoba untuk mengingatnya. Akhir-akhir ini aku sering memimpikan peristiwa itu, seakan ingin mengingatkanku pada masa-masa tersulit dalam hidupku.

Aku melirik jam yang ada diatas nakas. Pukul 03.30 Am. Sebenarnya ini masih terlalu pagi untukku bangun, tapi berkat mimpi itu, sekarang aku sudah tak berniat lagi untuk tidur. Aku turun dari ranjangku dan pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahku. Aku melihat pantulan wajahku di cermin. Wajahku terlihat tidak terlalu baik, rambutku sedikit kusut, dengan mata yang terlihat seperti mata panda. Aku tersenyum miris, bahkan sekarang aku tidak bisa lagi tersenyum dengan tulus. Aku sudah lupa bagaimana caranya untuk tersenyum setelah peristiwa itu. Aku kembali mengenang peristiwa itu, kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuaku.

Kecelakaan itu terjadi tepat sepuluh tahun yang lalu. “Haah…,“ aku menghela nafas, teringat hari ini tepat sepuluh tahun sejak kecelakaan itu. Dan hari ini aku genap berusia 22 tahun. “Ck,“ decakku saat aku teringat bahwa kecelakaan itu terjadi di hari ulang tahunku yang ke-12. Sebelum kecelakaan aku benar-benar menunggu datangnya hari itu. Tapi saat ini, aku benar-benar tidak ingin hari itu ada. Tidak pernah. Jangan lagi.

Aku menengadahkan kepalaku, mencegah air mataku mengalir. Tapi kali ini, aku kembali gagal. Bulir-bulir air perlahan mulai mengalir dengan bebas dipipiku. Aku jatuh terduduk, memeluk tubuhku sendiri. Aku kembali menangis tanpa suara. Entah kenapa, setiap hari peringatan kematian orang tuaku, aku tak pernah sanggup untuk membendung segala emosi yang berkecamuk di dalam hatiku. Aku benci diriku yang selalu menangisi hal yang sama. Aku benci diriku yang lemah. Kapan datangnya hari di saat ada orang yang mampu membangun tanggul kokoh untuk mencegah air mataku mengalir kembali. Akankah hari itu datang?

Drrt… drrt…drrt….

Aku mengusap air mataku dan bangkit untuk menjawab panggilan dari ponselku. “Mom…“ Itu nama yang tertera di layar ponselku. Aku mengangkatnya dengan berat hati. 

“Ya, Mom. Ada apa pagi-pagi sudah menelpon?“

“Memangnya harus ada alasan jika seorang ibu menelpon putrinya?“

“Baiklah, tidak ada. Lalu? Apa yang ingin Mom katakan? Ini masih terlalu pagi untuk menelpon Mom. Apa Mom tidak tahu sekarang pukul berapa?“ tanyaku tak habis pikir.

Mom tahu ini masih sangat pagi... tapi Mom juga tahu kalau sekarang kau pasti sudah terbangun dari tidurmu. Mom mengenalmu, Nara.“ Sunyi. “Selamat ulang tahun.”

Aku tidak membalas perkataan Mom. Mendengarnya mengatakan itu, membuatku ingin menangis lagi. Aku menengadahkan kepalaku, mataku sudah mulai berair lagi. Sialan, bisakah kau berhenti jadi gadis cengeng, hah.

“Apa kau masih disana? Apa... apa kau baik-baik saja? Apa aku harus kesana?“ pertanyaan Mom yang bertubi-tubi dengan nada khawatir membuatku kembali sadar, ternyata ada orang lain yang masih mengkhawatirkan ku. Di dunia ini aku tak sendirian.

Mom, pelan-pelan jika bertanya. Aku baik-baik saja. Aku... aku akan ke rumah nanti siang.“ aku mendengar helaan nafas dari seberang sana. Sebesar itukah kau mengkhawatirkan ku?

Mom, aku masih mengantuk, aku ingin kembali tidur.“

“Oh, tentu. Baiklah kalau begitu. Selamat beristirahat. Semoga mimpi indah. Akan ku buatkan makanan kesukaanmu. Ku tunggu kau di rumah. Mom punya hadiah spesial untuk ulang tahunmu kali ini. See you. Ucap Mom dengan bersemangat.

See you.Jawabku singkat.

Setelah meletakkan kembali ponselku ke atas meja, aku berjalan menuju jendela apartemenku dan melihat ke arah jalanan kota New York yang masih lengang. Aku kembali menyunggingkan senyum miris ku. Hadiah spesial? Setiap tahun aku selalu mendapatkan hadiah spesial. Aku lupa bahwa selama sepuluh tahun terakhir aku memiliki orang tua baru.

Setelah kecelakaan itu, paman dan bibiku yang ada di Amerika langsung terbang menuju Indonesia. Mereka benar-benar sangat bahagia saat mengetahui bahwa aku masih selamat, dan menjadi satu-satunya korban yang selamat. Terutama bibiku.

Setelah itu, mereka memutuskan untuk membawaku pindah ke Amerika, karena memang merekalah keluargaku yang tersisa. Aku adalah anak tunggal, dan aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain mereka. Sebelum pindah, mereka mengurus semua hal. Dari proses pemakaman kedua orang tuaku sampai proses adopsi ku. Mereka mengambil jalan yang menurut mereka adalah yang terbaik. Mengadopsi ku sebagai anak. Mereka tidak memiliki anak, karena bibiku mandul. Dan mereka sangat menyayangiku. Setiap kali berkunjung ke Indonesia mereka selalu memberiku berbagai macam hadiah dan selalu mengajakku jalan-jalan. Dan aku benar-benar bahagia. Tapi itu dulu. Saat aku masih bisa tersenyum dengan riang. Saat orang tuaku masih ada. Dan saat kecelakaan itu belum terjadi.

Mengenang masa kecilku membuatku mengingat seseorang. Seseorang di masa laluku. Teman bermainku. Tapi aku lupa siapa namanya. Bahkan bayangan wajahnya pun mulai memudar. Sepertinya aku sangat terlena dengan dukaku. Lama-lama aku jadi penasaran, siapa orang itu. Seseorang yang kadang masuk kedalam mimpiku, dan membuatku tenang ketika tidur.

Semoga orang itu tak melupakanku, seperti aku yang melupakannya. Aku butuh seseorang untuk membantuku menemukan kembali kebahagiaanku.

***
 
Kai’s view


“Hoaammmm….”

Aku menguap sambil meregangkan otot dan sendi-sendi ku. Aku terduduk dengan mata yang masih sayup, berusaha untuk mengumpulkan sisa nyawaku yang masih di awang-awang. Aku melirik jam yang ada diatas meja. Pukul 07.00. mataku membelalak. Setelah nyawaku terkumpul semua, aku menyibakkan selimut dan turun dari ranjangku yang sangat nyaman. Aku berjalan dengan terburu-buru, mengambil handuk yang ada di depan kamar mandiku dan masuk kekamar mandi. Untuk apa? Tentu saja untuk mandi. Bodoh. Hari ini aku ada janji, dan dengan bodohnya aku melupakan janji itu. Dan ini semua karena skripsiku.

Setelah mandi aku bergegas memakai baju dan celana. Hari ini aku memakai celana jeans warna biru pudar dan T-shirt warna putih. Aku memakai sepatu kets ku dan mengambil ransel serta jaketku, lalu turun kebawah untuk sarapan.

“Pagi Ma, pagi Pa.” sapaku kepada kedua orang tuaku. Aku mencium pipi kanan Mamaku dan menarik satu kursi untukku duduk.

“Pagi Dimas. Kamu mau kemana? Kok tumben baru jam segini udah siap aja?” tanya Mama.

“Hari ini aku ada janji sama temenku.” Jawabku singkat.

“Gimana perkembangan skripsimu?” kali ini Papa yang bertanya, beliau bertanya tanpa mengalihkan tatapan dari koran pagi yang sedang dibacanya.

On progress” jawabku sekenanya.

Sebenarnya skripsiku sudah hampir selesai, tapi jika aku mengatakannya, sudah pasti aku tidak bisa pergi sesuka ku. Aku memakan rotiku dengan terburu-buru sampai aku hampir tersedak. Aku segara meminum air yang sudah disediakan oleh Mama.

Kalo makan jangan buru-buru.” Nasihat Mama saat melihat tingkahku. Sedangkan Papa hanya melihatku sekilas lalu melanjutkan acara membaca korannya.

Emang kamu mau kemana sih?” Sekadar info, itu tadi suara Papa.

 “Aku harus ke perpustakaan, ada janji sama temen.”

Temen apa temen?” goda Mama. Aku hanya mengendikkan bahu menanggapinya.

Selesai sarapan aku langsung bergegas menyambar tasku lalu mencium pipi kanan mama dan pamit. Aku segera ke garasi untuk mengeluarkan mobil Jeep ku, mobil ini adalah hadiah dari papa saat aku berhasil masuk ke FH UI. Aku mulai melajukan mobilku di jalanan kompleks tempatku tinggal. Sebenarnya aku tidak ada janji apapun dengan temanku, tapi aku ada janji dengan diriku sendiri. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku harus ke tempat itu setiap tahun.

Sekilas saat aku melewati rumah milik teman kecilku, aku melihat beberapa orang disana. Sepertinya sedang ada renovasi. Tiba-tiba jantungku berpacu dengan sangat cepat, aku melambatkan laju mobilku. Apakah dia akan kembali? tanyaku dalam hati. Tapi pikiran lain muncul, mungkin saja rumah itu sudah dijual. Setelah meyakinkan diri, aku mulai menginjak gas mobilku dan Jeep ku melaju dengan cepat ke tempat itu. Tempat dimana terakhir kalinya aku melihat dia. Yaitu tempat peristirahatan terakhir orang tuanya.

***

Nara…

Dari dulu sampai sekarang, nama itu tak pernah enyah dari benakku. Seberapa besar pun aku berusaha untuk menghapusnya. Dia adalah teman yang paling ku sayang. Cinta pertamaku. Dan aku selalu tersenyum saat aku mengenang masa dimana kita masih bermain dan tertawa bersama. Namun seketika aku akan sedih saat mengingat peristiwa yang membuatnya berubah 180ยบ. Peristiwa yang terjadi tepat sepuluh tahun lalu. Kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya, kecelakaan yang merenggut senyumnya. Senyum yang selalu ku suka.

Setelah sekitar satu jam perjalanan, akhirnya aku sampai di tempat pemakaman orang tua Nara. Aku mengambil bunga yang kubeli saat di perjalanan tadi. Kucium bunga itu. Harum. Bunga mawar putih, bunga kesukaan Nara. Aku tersenyum mengingatnya. Aku mulai melangkahkan kakiku ke makam orang tua Nara. Sebenarnya hari peringatan kematian orang tua Nara adalah dua hari yang lalu, tapi karena skripsi aku sempat melupakannya.

 Saat aku sampai, aku juga melihat serangkai bunga mawar putih. Masih segar, sepertinya masih baru. Tiba-tiba angin berhembus, mengantarkan sebuah aroma yang sangat familiar, yang selalu ku rindukan. Ku pejamkan mataku untuk merasakan aroma tersebut, dan aku seperti di bawa ke masa lalu. Aku seperti baru saja melihatnya di sini. Aku segera memutar kepalaku ke kanan dan ke kiri. Tapi tak ada siapapun. Aku segera ke luar dari tempat pemakaman, namun di luar pun sama, tak ada tanda-tanda bekas keberadaannya. Yang ada hanya orang-orang yang berlalu lalang dan melakukan dengan aktivitasnya masing-masing.

Setelah lelah mencari dan tak mendapatkan hasil apapun, aku kembali ke makam orang tua Nara. Apa mungkin ini hanya imajinasiku saja? pikirku dalam hati. Setelah aku meletakkan bunga dan berdoa, aku keluar menuju mobilku. Aku masuk ke mobil dan melajukannya. Sepertinya aku sangat lelah akibat skripsi, sampai-sampai aku berimajinasi hal-hal yang tidak mungkin.

Sial.

Jalanan mulai macet, jangan sampai aku terjebak kemacetan ini. Lampu pun berganti dari hijau ke merah, aku menghentikan mobilku. Ataukah karna aku terlalu merindukannya? Atau kau sebenarnya sudah kembali? Itu yang aku pikirkan sekarang. Mungkin saja pemikiranku ini tidak salah. Bisa saja Nara sudah kembali. Oh, Astaga. Memikirkannya saja sudah membuat jantungku berdebar tak karuan. Lampu berganti warna menjadi hijau. Aku melajukan mobilku dengan kecepatan normal. Lebih baik sekarang aku pulang dan istirahat.

Nara, selamat ulang tahun ke-22. Semoga kau segera menemukan kembali kebahagiaan mu. Jika itu bukan aku, setidaknya izinkan aku membantumu menemukannya. 

***
 
Nara’s view


Mom, aku datang.” ucapku sambil meletakkan handbag ku di sofa.

Kulihat rumah sepi. Dimana Mom dan yang lain? Tanyaku dalam hati. Saat aku berjalan menuju dapur untuk mengambil minum, aku melihat seorang pembantu keluar dari ruang perpustakaan rumah. Dia terlihat sedikit terkejut saat melihatku. Tapi itu hanya sebentar, sepersekian detik setelah itu, dia langsung memberiku senyum ramah. Aku hanya menganggukkan kepalaku.

“Dimana Mom?” tanyaku.

“Nyonya ada di kamarnya, Nona. Jika Nona ingin menemuinya, Nona bisa langsung ke kamarnya. Itu pesan Nyonya.” Dia menjawab dengan tetap senyum.

“Baiklah, aku akan kekamarnya. Oh ya, Bibi, bisakah kau buatkan aku Green Tea hangat?”

“Tentu Nona, ada lagi?” tanyanya ramah.

“Tidak, itu saja. Terima kasih.”

Bibi hanya tersenyum dan sedikit membungkukkan badan saat aku berjalan melewatinya. Aku berjalan dengan sedikit enggan menuju kamar Mom yang ada di lantai dua. Selama ini aku selalu mendapatkan hadiah spesial dari Mom dan Dad. Tapi tak ada yang benar-benar spesial bagiku. Tapi aku tetap menghargai usaha mereka untuk membuatku bahagia.

Tok…tok...tok….

Aku sedikit membuka pintu kamar dan melongokkan sedikit kepala setelah mengetuk pintu. Kulihat Mom ada di balkon kamar. Aku membuka pintu lebih lebar dan berjalan menghampirinya. Aku memeluk Mom dari belakang. Meskipun Mom bukan ibu kandungku, aku tetap menyayanginya.

“Mana hadiahku?” Tagihku sambil menodongkan tanganku kedepan wajahnya, Mom tertawa kecil sebelum menjawab.

“Dasar kau ini. Kau bahkan belum menyapa Mom.” Mom membalikkan badan dan balas memelukku. Pelukan yang hangat.

“Selamat ulang tahun, Nara. Semoga apa yang kau inginkan dapat tercapai.Mom mengatakannya sambil mencium keningku. Aku menatapnya, hanya sinar ketulusan yang terpancar dari tatapannya itu. Satu hal yang ku sadari. Mom benar-benar menyayangiku.

“Lalu mana hadiahku?” Aku melepaskan diriku dan kembali menodongkan tanganku.

Cklek.

Suara pintu kamar yang terbuka diikuti dengan langkah kaki seseorang membuatku membalikkan badan untuk melihat siapa yang datang. “Dad?” ucapku bingung. “Bukannya kau ada janji dengan kolegamu?” tanyaku sambil menghampirinya. Dad langsung memelukku, aku pun membalas pelukannya. Pelukan yang hangat. Entah kenapa aku jadi sedikit sentimentil.

“Selamat ulang tahun, Honey.” Ucap Dad seraya melepaskan pelukannya.

Kudengar langkah kaki dari belakang, Mom menghampiri kami. “Kau akan segera mendapatkan hadiahmu, Nara” ucap Mom lembut. Aku menatap mereka bingung, dan mereka hanya tersenyum sambil membalas tatapanku. Aneh. Sepertinya ada yang disembunyikan.

“Sebenarnya ada apa?” tanyaku curiga.

Kemudian Dad berjalan kearah nakas. Beliau membuka laci dan mengambil sebuah amplop coklat. Kemudian Dad memberikan amplop tersebut kepadaku. Aku menatap mereka bingung, dan lagi-lagi senyuman lah yang aku dapatkan dari mereka. Akhirnya aku membuka amplop tersebut. Hanya ada satu kertas panjang dan kecil didalamya. aku membaca kertas tersebut, dan ternyata itu adalah sebuah tiket pesawat. Aku membelalakkan mataku.

“Indonesia? Hari ini?” tanyaku tak habis pikir. “Apa maksudnya?”

“Nara, sudah waktunya kamu mencari kebahagiaanmu lagi. Kami sudah tidak tahan melihatmu terus murung tanpa tahu apa yang harus kami lakukan.” Ucap Mom.

Aku menatap Mom dan Dad, mereka masih tersenyum. Namun mata Mom tak bisa menutupi apa yang sebenarnya ia rasakan. Aku memeluk Mom erat. Mom membalas pelukanku dengan lebih erat. Aku tahu ini adalah keputusan yang berat untuknya. Dan aku mulai merasakan bahuku sedikit basah. Mom menangis tanpa suara. Ku pejamkan mataku untuk mencegah air mengalir dari mataku.

Isakan kecil mulai terdengar. Aku melepaskan pelukanku, dan Mom langsung menutup wajah dengan kedua tangannya. Aku juga melihat Dad menengadahkan kepalanya. Aku kembali memeluk Mom dan mengusap-usap punggungnya, berniat untuk menenangkannya. Tapi isakannya malah semakin kencang. Kulihat Dad pergi meninggalkan kamar. Sepertinya Dad tidak sanggup melihat Mom menangis seperti ini.

Setelah Mom cukup tenang, aku melepaskan pelukanku. Mata Mom sangat merah dan basah. Jika sudah begini apa yang harus ku lakukan.

“Padahal Mom sudah berjanji kepada Dad agar tidak menangis. Tapi sepertinya Mom tidak bisa. Dad pasti kecewa makanya dia meninggalkan kita.” Ucap Mom sambil mengusap air matanya.

Mom, apa aku harus pergi?” tanyaku dengan ragu.

Kemudian Mom memberiku senyuman hangat yang menenangkan.

“Itu pilihanmu Nara. Tapi Mom dan Dad ingin mengembalikan senyummu lagi. Kami benar-benar menyayangimu.” Aku tak membalas perkataannya. Kemudian beliau membalikkan badanku dan mendorongku untuk keluar kamar.

“Cepatlah siap-siap. Pesawatmu akan Take off pukul dua siang. Dad akan mengantarmu.” Ucap Mom sebelum aku benar-benar keluar kamar. Aku menghentikan langkahku dan membalikkan badan menatap Mom.

Mom tidak ikut mengantarku.” Tanyaku sedikit kecewa.

Mom hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. Aku pun mengangguk. Aku mengerti perasaanya. Melepaskan putri semata wayangnya adalah hal yang sulit baginya. Aku juga pernah merasakan hal itu. Saat aku harus melepaskan kedua orang tuaku, untuk selamanya.

Aku berjalan menuruni tangga menuju kamarku. Saat aku melewati perpustakaan, dari pintu yang terbuka, aku melihat siluet Dad yang sedang menatap kearah luar jendela dengan kedua tangannya yang berada didalam saku celana. Aku tahu ini juga keputusan yang sulit untuk Dad. Meskipun Dad cenderung pendiam, tapi aku tahu Dad selalu memperhatikanku. Aku benar-benar merasa bersalah dan bingung. Bersalah karena telah membuat Mom dan Dad bersedih. Dan bingung dengan pilihanku. Apakah aku benar-benar akan mendapatkan kebahagiaanku lagi jika aku kembali ke Indonesia?

Akhirnya aku menghampiri Dad. “Apa kau sudah bersiap-siap?” tanya Dad tanpa memalingkan wajah dari arah jendela. Aku menghentikan langkahku saat aku dan Dad hanya berjarak satu meter.

“Belum.” jawabku singkat. Hening.

Dad, apa menurutmu kebahagiaan akan datang padaku lagi?” tanyaku ragu. Dad membalikkan badannya dan menatapku lembut.

“Tentu saja, Nara. Kebahagiaan adalah hak setiap manusia yang diberikan oleh Tuhan. Mom dan Dad tahu ini adalah keputusan yang berat bagi kami. Kau juga tahu itukan? Tapi kami juga tahu bahwa kau punya hak untuk bahagia. Kembalilah ke Indonesia. Temukanlah kembali kebahagiaanmu. Dan jangan sampai kau kembali kesini jika kau belum berhasil menemukannya.”

Perkataan Dad menyadarkanku. Benar. Aku punya hak untuk bahagia. Dan aku yakin, Tuhan sudah menyiapkan kebahagiaan untukku. Tinggal bagaimana caranya agar aku menemukan kebahagiaan tersebut.

“Nah, sekarang sudah pukul 12.30 siang. Sudah waktunya kau bersiap-siap. Siapkan juga mentalmu.” Ucapan Dad menarikku kembali ke dunia nyata. Aku harus bersiap-siap untuk membuka lembaran baru dalam hidupku.

***
 
Huft…

Setelah hampir seharian aku berada di pesawat, akhirnya aku sampai juga. Bandara Soekarno-Hatta. Sepuluh tahun lalu aku juga menginjakkan kakiku di sini. Tapi dengan tujuan yang berbeda. Jika sepuluh tahun lalu aku di sini untuk pergi, sekarang aku di sini untuk kembali.

Setelah keluar dari bandara, aku langsung masuk ke dalam taksi yang sudah siap menanti penumpang. Aku memberikan alamat rumahku yang lama. Dad bilang rumah sedang di renovasi, tapi sudah bisa ditempati. Mereka benar-benar menyiapkan semuanya dengan baik.

Saat taksi yang ku tumpangi melewati sebuah universitas, aku jadi teringat dengan kuliahku. Ijazahku akan di kirim secepatnya oleh Dad. Tapi aku sedih karena tidak bisa mengikuti wisuda ku.

Setelah sekitar dua jam perjalanan, akhirnya aku sampai di depan rumahku. Suasana rumah ini cukup ramai karena masih ada renovasi. Aku melihat seseorang yang memakai pakaian putih hitam dengan topi. Sepertinya itu satpam yang baru. Satpam rumahku sudah berganti. Dulu aku sering bermain dengan satpam rumahku, beliau juga sering mengajak anaknya untuk bermain denganku. Tapi itu sepuluh tahun lalu, sekarang semuanya sudah berubah.

“Sudah sampai, Non?”

Pertanyaan supir taksi tersebut menyadarkanku. Aku pun segera membuka tas dan mengambil uang di dompet dan memberikannya kepada supir taksi tersebut. Kemudian aku keluar dari taksi. Lembab. Udara di Jakarta sangat berbeda jauh dengan udara yang ada di New York. Supir taksi tadi juga ikut turun untuk membantuku mengeluarkan koper dan barang bawaanku yang lain. Setelah selesai mengeluarkan barang-barangku, supir tersebut pamit pergi.

Aku masih bediri di depan rumah. Sepertinya belum ada yang menyedari kedatanganku sampai ada seorang wanita paruh baya yang keluar dari rumah. Sepertinya aku pernah melihatnya. Wanita itu menyadari kedatanganku, seketika matanya membelalak.

“Non Nara.” Teriak wanita tersebut.

Mendengar suaranya aku jadi ingat. Wanita itu adalah salah satu pembantu dirumahku. Kalau tidak salah, namanya adalah Sumi, Bi Sumi. Beliau langsung menghampiriku dan segera memelukku. Tubuhku sedikit terhuyung karenanya. Setelah memberikan pelukan singkat, beliau melepaskan diri dan menatapku. Matanya berkaca-kaca. Astaga, sampai kapan aku harus melihat orang-orang yang menangis? Ucapku dalam hati.

“Non pasti capekkan? Non harus istirahat. Non mau langsung tidur, atau mandi dulu, atau makan dulu?” ucapannya yang beruntun itu membuatku pusing. “Aku mau..” saat aku baru saja ingin menjawab perkataannya, tiba-tiba saja di potong. “Non masih inget saya kan?” Saat beliau menanyakan hal itu seketika aku terdiam. Selama itukah aku meninggalkan tanah kelahiranku?

“Tentu saja. Bi Sumi.” Jawabku pelan, terdengar ragu. Aku sendiri ragu apakah aku masih ingat bagaimana diriku dulu.

“Ya sudah Non , sekarang Non istirahat aja. Biar nanti barang-barangnya dibawain sama si Bayu, satpam yang baru.” Ucapnya sopan.

Setelah sampai di kamar aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Aku benar-benar lelah setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, terbang New York – Jakarta. Kemudian aku bangkit dan  menegakkan badanku. Awalnya aku berniat untuk mandi, tapi aku malah asyik bernostalgia di kamarku. Aku berjalan mengelilingi kamarku. Aku berhenti untuk melihat foto-foto yang ada di atas meja. Aku tertarik dengan sebuah foto. Di sana ada seorang gadis kecil yang sedang tersenyum lebar sambil berangkulan dengan seorang anak laki-laki. Tiba-tiba saja kenangan di masa lalu berputar bagaikan sebuah rol film.

Kai.

***

12 tahun lalu...

SDN Teitan

 
“Kamu kenapa? Nggak punya temen ya?”  tanya seorang gadis kecil kepada anak laki-laki yang duduk sendiri didalam kelas. Anak laki-laki itu hanya menatapnya dengan dingin kemudian mengambil sebuah kubik rubik dari dalam tasnya dan memainkannya. Merasa diacuhkan, sang gadis merebut kubik rubik tersebut dari anak laki-laki itu.

“Namaku Nara. Dan aku paling tidak suka diacuhkan.” Ucapnya sambil mengerucutkan bibirnya.

“Namaku Kai. Dan aku paling tidak suka diganggu.” Jawab Kai seraya merebut kembali kubik rubiknya.

Dia tetap mengacuhkan Nara yang masih cemberut. Karena tetap diacuhkan, akhirnya Nara duduk di depan Kai. Nara memperhatikan Kai yang sedang bermain kubik rubik dengan tatapan kagum.

“Waahh... sepertinya itu permainan yang seru.” Ucap Nara dengan riang. Sedangkan Kai hanya menatapnya dengan sebelah alis yang terangkat. Apa dia pikir ini mudah?

“Bolehkah aku mencobanya?” tanya Nara.

“Boleh saja. Tapi jangan menangis jika tidak bisa.” Balas Kai dengan nada sinis.

“Aku tidak akan menangis.” Ucap Nara dengan bibir yang mengerucut.

Kai memberikan kubik rubiknya kepada Nara, dan Nara menerimanya dengan senang hati. Nara memainkannya dengan riang dan sangat percaya diri bahwa ia bisa menyelesaikannya. Sepuluh menit. 20 menit. 30 menit.

Teet...teet...teet….

Sampai bel masuk berbunyi pun Nara belum juga berhasil menyelesaikannya. Sedangkan Kai baru saja bangun dari tidur singkatnya karena mendengar bunyi bel. Anak-anak mulai berdatangan ke kelas. Kai melihat Nara masih berusaha keras untuk menyelesaikan kubik rubik itu. Dia melihat keringat mulai keluar dari kening Nara. Heh, gadis bodoh yang tangguh.

“Kembalikan rubikku. Bel sudah masuk, sebentar lagi guru akan datang.” Ucap Kai. Dia menopangkan dagunya di tangan kanan, dan tangan kirinya disodorkan kedepan wajah Nara.

“Tunggu sebentar. Aku pasti bisa menyelesaikannya.” Ucap Nara tanpa menoleh sedikitpun.

“Gadis bodoh.” Ucap Kai. Bibir Kai sedikit terangkat saat mengatakannya.

“Nara. Minggir. Kembali ke tempat dudukmu.” Usir seorang anak lelaki gembul.

“Tunggu... Bob.” Balas Nara dengan serius.

“Tapi Bu guru udah dateng.” Ucap Boby gemas.

“Ehh, Bu guru udah dateng?” tanya Nara kaget. Nara langsung bangkit dari tempat duduk Boby dan melihat kearah depan. Dia melihat Bu Ajeng sedang duduk manis sambil menatapnya.

“Apa yang sedang kau lakukan, Nara, sampai kau tidak menyadari kedatangan Ibu?”

“Maaf... aku tidak akan mengulanginya lagi.” Ucap Nara dengan nada menyesal.

“Baiklah. Sekarang kembali ke tempat dudukmu.” Ucap Bu Ajeng.

Nara kembali ke tempat duduknya. Saat dia duduk, dia baru sadar bahwa dia masih memegang kubik rubik milik Kai. Nara menolehkan kepalanya kearah belakang, tempat duduk Kai. Ternyata Kai juga sedang menatapnya, tatapannya seolah-olah berkata

“Mau sampai kapan kau memainkan rubikku. Sampai kapanpun kau tak akan bisa menyelesaikannya.” Di beri tatapan seperti itu, Nara kembali menolehkan kepalanya ke depan kelas dengan bibir mengerucut lucu.

Lalu dia memasukkan kubik rubik itu ke dalam tasnya. Dia pun tersenyum puas. Dia sedikit memalingkan wajahnya ke belakang, dan benar saja, Kai sedang menatapnya dengan tatapan kesal.

Teet... teet... teet....

Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Anak-anak mulai ribut membereskan barang-barangnya, begitupun Nara dan Kai.

“Baiklah anak-anak, sampai bertemu besok.” Ucap Bu Ajeng sebelum meninggalkan kelas.

Setelah Bu Ajeng meninggalkan kelas, anak-anak berlomba-lomba meninggalkan kelas. Saat Nara baru mau keluar kelas, tiba-tiba saja tangannya dipegang oleh seseorang. Dia menengok ke belakang.

“Kai. Ada apa?” Tanya Nara kaget.

“Sebelum pulang, kembalikan dulu rubikku.” Ucap Kai dingin.

“Lepaskan dulu tanganku.” Balas Nara dengan sebal.

Setelah Kai melepaskan pegangannya, Nara tidak melakukan apapun, dan tidak mengatakan apapun. Hening menyelimuti mereka untuk beberapa saat sampai akhirnya Nara berlari dengan kencang keluar kelas. Kai yang kaget hanya melongo. Kemudian saat dia sudah sadar, dia menoleh kearah Nara berlari. Dia melihat Nara yang melambai-lambaikan tangannya sambil tersenyum lebar.

“Rubikmu akan ku kembalikan besok.” Teriak Nara.

Kai hanya bisa pasrah. Dari awal dia sudah merasa bahwa Nara bukanlah anak yang membawa keberuntungan. Dia hanya menghela nafas dan berjalan menuju gerbang sekolah. Di sana sebuah mobil sedan sudah menunggunya.

“Bagaimana sekolahmu hari ini Tuan Muda?” Tanya sang supir seraya membukakan pintu mobilnya.

“Lumayan.” Jawabnya singkat. Sang supir hanya tersenyum maklum dengan tingkah Tuan Mudanya itu.

 
Esok harinya.


Nara masuk kedalam kelas dengan riang, dia semakin senang saat melihat Kai tengah membaca sebuah buku. Dia menghampiri Kai sambil bersenandung. Kai mendongakkan kepalanya saat mendengar langkah kaki yang semakin mendekat. Dan benar saja, didepannya kini berdiri Nara dengan senyum lebarnya.

“Pagi.”  Kai hanya menghela nafas tanpa berniat membalas sapaan Nara.

“Aku sudah berhasil menyelesaikan rubik itu.” Ucap Nara sambil mengulum senyum.

“Benarkah? Selamat kalau begitu.” Ucap Kai skeptis. “Mana?” tambah Kai.

“Ini.”

Nara menyerahkan sebuah rubik yang sudah tersusun berdasarkan warnanya masing-masing. Kai menerimanya dan mengamati dengan seksama kubik rubik itu. dan benar saja, dia menemukan jejak “kecurangan” Nara. Kemudian dia menatap Nara yang tengah menatapnya juga dan tersenyum. Senyum mengejek.

“Kapan?” tanya Kai. “Kemarin. Kemarin aku menyelesaikannya.”

“Kapan kau membongkarnya?” Kai mengulang pertanyaannya dengan lebih jelas.

“Hah?” Nara menatapnya bingung.

“Kau baru saja membongkarnya, kan?” ucap Kai memperjelas.

Saat sudah mengerti apa yang sedang dibicarakan Kai, Nara mengerucutkan bibirnya dan memasang wajah sebal.

“Habisnya... aku sudah berusaha tapi tetap saja tidak bisa.” Keluhnya.

“Yasudah lah. Memang ini bukan permainan selevel mu.”

“Huh. Kau ingin menyombongkan dirikan, karena kau bisa dengan mudah menyelesaikannya.” Bantah Nara.

“Memang itulah kenyataannya.” Balas Kai dengan ringan.

“Huh. Yasudah lah, kau memang bukan orang selevel ku.” Timpal Nara dengan ringan, berniat untuk merendahkan Kai.

“Kau...” ucapan Kai terpotong oleh bel masuk.

 
Teet...teet...teet....

 
Nara pergi meninggalkan Kai yang hanya bisa menelan kekesalannya. Kelas pun di mulai dengan suasana yang menyenangkan. Seperti suasana hati Nara saat ini. Dan sangat berbeda jauh dengan suasana hati Kai saat ini.

“Baiklah. Selamat beristirahat anak-anak. Ingat, jangan jajan sembarangan ya.” Ucap Bu Susi sebelum meninggalkan kelas. Setelah itu, kelas pun mulai ramai karena anak-anak yang berebut ingin pergi ke kantin.

“Nara, ayo.” Ajak salah satu teman Nara, Putri.

“Ayo.” Sahut Nara.

Saat Nara bangkit dari tempat duduknya, tak sengaja dia melihat Kai yang lagi-lagi sedang membaca buku. Akhirnya dia menyuruh Putri untuk pergi duluan. Kemudian Nara menghampiri Kai.

“Ada apa lagi?” tanya Kai tanpa menoleh.

“Apa kau tidak suka bermain?” tanya Nara heran.

Kai hanya menatap Nara sebentar dan melanjutkan membaca buku. Sedangkan Nara mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kau sebenarnya suka bermain. Tapi kau tak bisa bermain karena tidak punya teman kan?” ucap Nara dengan nada menyelidik. Kai hanya menatapnya tak habis pikir.

“Baiklah kalau begitu. Ayo kita bermain bersama yang lain.” Nara menarik tangan Kai dan mengambil buku  yang ada ditangannya kemudian meletakkannya diatas meja.

“Hei, apa yang kau lakukan? Lepaskan tanganku.” Berontak Kai. Tapi bukan Nara jika tak bisa berhasil menaklukkan orang.  Dan entah bagaimana, Kai kini ada di tengah lapangan, di tengah keramaian bersama Nara dengan tangan yang masih dipegang.

“Nah, sekarang aku akan mengenalkan mu sebuah permainan tradisional yang ada didaerahku. Berkat ku, permainan ini menjadi permainan yang cukup digemari anak-anak disini. Aku sangat hebat kan.” Ucap Nara membanggakan dirinya.

Kai yang tangannya sudah terlepas dari genggaman Nara hanya memutar kedua bola matanya jengah.

“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Kai yang sudah mulai kesal.

“Oke. Sebelum itu kita harus mencari orang lain untuk bermain permainan ini, karena tak akan seru jika hanya ada kita berdua.” Jelas Nara.

“Baiklah, aku akan mengajak anak-anak yang mungkin ada di kelas.” Ucap Kai seraya meninggalkan Nara. Namun tangannya di tahan oleh Nara.

“Tidak perlu. Ada cara yang lebih mudah untuk bisa mendapatkan teman bermain.” Ucap Nara sambil menyeringai. Kai hanya menatapnya bingung. Kemudian Nara menarik nafas panjang, dan meletakkan kedua telapak tangannya di sekitar mulutnya. Dan dia pun mulai berteriak dengan lantang.

“SIAPA YANG MAU MAIN RAMBATAN?” teriakan Nara membuat semua orang memperhatikannya. Sedangkan Kai hanya bisa melongo dibuatnya. Tak lama kemudian beberapa orang berdatangan untuk menerima ajakan Nara tadi. Kai semakin melongo karena orang-orang yang berdatangan cukup banyak. Permainan macam apa sebenarnya ini? Tanya Kai dalam hati.

“Nah, apa ku bilang.” Ucap Nara dengan bangga. Kai masih menatapnya tak habis pikir.

“Baiklah, karena disini sudah cukup banyak pemainnya. Pertama-tama, aku akan menjelaskan bagaimana cara bermain rambatan. Cara bermainnya adalah, pertama, kau harus mencari teman untuk bermain. Kemudian menentukan siapa yang jaga. Penjaga disini berbeda dengan penjaga saat bermain petak umpet. Penjaga disini adalah orang yang bebas menyuruh pemain lain untuk memegang sesuatu.”

“Memegang sesuatu?” tanya Kai bingung.

“Iya. Semisal aku sebagai penjaga menyuruhmu dan yang lain untuk memegang tiang bendera yang ada disana. Kau dan pemain yang lain harus berhasil memegang tiang bendera tersebut. Dan untuk sampai ke tiang bendera itu, kalian harus memegang sesuatu dan merambatinya. Dan jika kau tidak merambat pada satu benda pun, dan aku memegang atau menyentuhmu, maka kau yang akan menggantikanku menjadi penjaga. Bagaimana? Cukup jelaskan.” Tanya Nara dengan tersenyum.

“Aku tidak” belum sempat Kai menyelesaikan kalimatnya, lagi-lagi Nara memotongnya.

“Baiklah, sekarang ayo kita tentukan siapa yang jaga.” Perintah Nara tersebut diikuti oleh anak-anak.

Cang kacang panjang yang panjang menang....
 
Ishh. Sial. Kenapa harus aku?” Desis Kai.

“Haha, Kai selamat. Baru bermain kau sudah jadi yang jaga.” Ejek Nara.

“Kau. Akan ku pastikan kau yang akan menggantikanku.” Balas Kai geram. Sedangkan Nara hanya tersenyum meremehkan.

“Baiklah. Aku ingin kalian semua memegang bendera itu.” Kai menunjuk sebuah bendera merah-putih yang berkibar dengan memesona.

“Kau gila? Berarti kita harus menurunkan bendera itu.” Bantah Nara. Beberapa anak yang lain pun protes.

“Kau bilang penjaga memiliki hak sepenuhnya untuk menyuruh pemain lain memegang sesuatu. Dan sekarang aku ingin kalian memegang bendera yang sedang berkibar itu.” perintah Kai dengan senyum penuh kemenangan.

“Baiklah. Aku akan memegang bendera itu, karena aku sudah berhasil membuatmu tersenyum.” Ucap Nara dengan senyum tulus.

Perkataan Nara membuat Kai sadar, bahwa setelah dia pindah dia sama sekali belum tersenyum. Dan sekarang dia tersenyum di hadapan teman-teman barunya. Dan yang baru dia sadari adalah, bahwa gadis yang menurutnya menyebalkan inilah yang berhasil membuatnya tersenyum. Bukan ayahnya, bukan juga ibunya.

Kai memperhatikan teman-temannya yang sedang berusaha menurunkan bendera itu. mereka terlihat sangat bahagia. Tapi ada satu orang yang entah kenapa terlihat lebih bersinar dari yang lain. Tawa riangnya benar-benar menular, hingga membuat Kai tertawa kecil.
 
***
 
Nara’s view

Hoaamm...

Aku menguap sambil meregangkan otot serta sendi ku. Aku melihat jam bekerku, jam 06.30 pagi. Aku lalu turun dari ranjangku dan berjalan ke kamar mandi untuk mandi. Setelah selesai mandi dan berpakaian, aku keluar kamar dan berjalan menuruni tangga menuju meja makan. Di atas meja makan sudah tersedia roti lapis dan segelas susu putih untuk sarapan. Aku langsung melahapnya karena aku memang sangat lapar. Karena sejak kedatanganku kemarin, aku belum makan apapun karena aku langsung tidur.

“Pagi Non.” Sapa Bi Sumi dengan senyum.

“Pagi.” Jawabku sekenanya.

“Setelah ini Non mau kemana? Mobil sudah siap, tinggal berangkat aja Non.” Tambahnya.

Aku menelan sisa roti yang masih ada di tenggorokan ku, dan menenggak susuku.

“Hari ini aku ingin pergi sendiri. Bisakah aku mengendarai mobil sendiri?” tanyaku.

“Baiklah Non, saya akan bilang ke supir kalo Non mau naik mobil sendiri. Kalo boleh tahu, emang Non mau kemana?” 

“Ke suatu tempat, Bi. Rahasia.” Jawabku. Bi Sumi hanya mengangguk-anggukkan kepala.

“Baiklah, hati-hati di jalan, Non.” Ucap Bi Sumi, beliau pamit undur diri setelah mengatakan itu.

Aku melihat kearah jendela. Hari yang cerah. Mama, Papa, aku pulang.

*** 

Akhirnya aku sampai ke tempat itu. Tempat peristirahatan terakhir kedua orang tua kandungku. Tempat dimana aku harus rela melepaskan mereka untuk selamanya. Aku masih sangat ingat saat-saat sebelum kecelakaan itu. Orang tuaku bertengkar karena sebuah kesalahpahaman. Kesalahpahaman yang menghancurkan.

Aku melangkahkan kakiku kearah makam kedua orang tuaku. Makam mereka berdampingan, dan  terawat. Mungkin Bibi yang merawatnya. Kemudian aku berjongkok untuk meletakkan bunga yang kubawa. Mawar putih, bunga kesukaan Mama dan aku. Bunga yang melambangkan kemurnian hati dan cinta sejati.

Kemudian aku berdoa untuk kebahagiaan mereka disana. Semoga mereka menemukan kebahagiaan yang sejati. Setelah selesai berdoa aku bangkit berdiri. Aku melihat jam tanganku, pukul 09.00 pagi, waktunya aku pergi. Ada tempat lain yang ingin ku kunjungi.

Kemudian aku keluar dari tempat pemakaman menuju tempat aku memarkirkan mobilku. Aku melajukan mobilku ke suatu tempat. Tempat dimana semuanya berawal.

***

Akhirnya aku sampai di tempat ini. Sepuluh tahun sudah aku tidak ke tempat ini. SDN Teitan. Sekolahku dulu, tempat dimana aku bisa bermain dengan riangnya, tempat dimana aku bisa merasakan kebahagiaan masa kecil. Tempat dimana untuk pertama kalinya aku bertemu dengannya. Semuanya berawal dari tempat ini.

Setelah memarkirkan mobilku, aku melangkahkan kakiku masuk melewati gerbang sekolah. Aku menyapa satpam sekolah yang baru. Seingatku, satpam yang dulu sudah tua, apa beliau masih hidup? Aku terus melangkahkan kakiku hingga menginjakkan kakiku di koridor sekolah tersebut. Aku menghentikan langkah kakiku dan memperhatikan keadaan sekitar. Koridor tampak ramai karena ini sudah jam istirahat. Aku melihat anak-anak yang menggunakan seragam merah-putih sedang melakukan aktivitas yang berbeda-beda. Mereka tampak bahagia, terlihat dari senyum mereka yang lebar. Kemudian aku mengarahkan tubuhku kearah lapangan sekolah. Aku melangkahkan kakiku ke tepi lapangan. Disana aku melihat anak-anak sedang bermain, semakin aku memperhatikan, aku jadi tahu permainan apa yang sedang mereka mainkan. Permainan tradisional yang aku kenalkan untuk pertama kalinya saat aku masih kelas 2 SD. Rambatan.

Dulu aku adalah murid pindahan. Aku tipe orang yang sulit untuk berinteraksi, dan teman-teman pun tak ada yang mau menyapaku lebih dulu. Akhirnya akulah yang pertama menyapa mereka. Teman pertamaku di sekolah ini adalah Putri. Dia anak yang ceria tapi pemalu. Kemudian temanku pun mulai bertambah banyak.

Kemudian suatu hari, saat aku dan teman-temanku sedang mengalami krisis permainan, aku teringat bahwa di daerahku dulu ada sebuah permainan tradisional yang terkenal. Dan sejak itulah permainan Rambatan terkenal dan cukup digemari di sekolah ini.

Mengingat diriku saat pertama kali menjadi murid pindahan, yang pendiam dan tidak memiliki teman, mengingatkanku dengan seseorang. Seseorang di masa lalu. Tiba-tiba saja sekelebat kenangan di masa lalu terputar kembali di otakku.

***

“Hey, ayolah. Apa kau sudah menyerah, hah?” tanya Nara kepada Kai.

“Curang. Dari awal selalu aku yang jaga. Lalu kapan bagian yang lain?” protes Kai.

“Ini bukan curang, bodoh. Tapi kau saja yang tidak pandai bermain.” Balas Nara sarkastis.

Kau tahu, di beberapa permainan kita bisa menggunakan trik untuk mengalahkan lawan. Apa kau tak berpikir sampai kesitu?” tambah Nara saat melihat bibir Kai yang mengerucut.

Kemudian seperti mendapat pencerahan, Kai menyeringai. Kemudian dengan bersemangat dia menyuruh teman-temannya yang sedang duduk karena lelah bermain untuk berdiri. Kemudian Kai menggosok-gosokkan tangannya sambil menyeringai. Anak-anak yang lain hanya menatapnya ngeri, termasuk Nara. Mereka semua memikirkan hal yang sama, apa yang sedang Kai rencanakan?

“Baiklah... untuk semua. Aku ingin kalian memegang…” Kai diam sejenak sebelum menyelesaikan ucapannya. Anak-anak mendengarkan dengan takut-takut.

“Aku ingin kalian memegangku.” Lanjut Kai.

Setelah mengatakannya Kai langsung berlari menjauhi teman-temannya yang sedang berkumpul. Teman-temannya hanya bisa melongo, tak percaya dengan perintah yang baru saja diberikan oleh Kai. Kai berlari sambil menatap teman-temannya yang masih belum bergerak. Dia tersenyum puas. Sepertinya rencananya akan berhasil. Namun tiba-tiba saja dari kumpulan teman-temannya, ada satu anak yang mulai berlari mengejarnya. Nara.

Melihat Nara berlari mengejarnya membuat Kai berhenti berlari. Kini dia benar-benar membalikkan badannya ke belakang. Dia menatap Nara, melihat Nara benar-benar membuatnya tak berkutik. Nara semakin dekat dengannya, tapi dia masih diam saja. Melihat Kai yang tak bereaksi membuat Nara juga menghentikan langkahnya. Jarak mereka kini hanya sejauh satu meter. Nara sedikit menelengkan kepalanya ke samping dan menatap Kai bingung. Tiba-tiba saja Kai mengulurkan tangannya dan membuat Nara menegakkan kembali kepalanya dan mulai mundur. Saat dia melihat Kai mulai maju mendekat ke arahnya sambil menyeringai, akhirnya dia membalikkan badan dan mulai berlari. Kai pun ikut berlari mengejar Nara. Akhirnya Nara dan Kai hanya berlari-lari mengelilingi lapangan. Orang-orang yang ada di situ mulai memperhatikan mereka. Teman-temannya bahkan sudah menertawakannya.

 

Teet... teet... teet….

 

Bel masuk pun berbunyi. Namun sepertinya Nara dan Kai belum berniat untuk berhenti berlari. Anak-anak yang lain sudah mulai masuk ke kelas masing-masing. Dan lapangan pun mulai sepi, hingga yang tersisa hanya mereka berdua.

“Hei. Mau sampai kapan kau mengejarku, hah?” teriak Nara dengan nafas tersengal.

“Sampai kau berhenti melarikan diri.’’ Jawab Kai.

Nara yang sudah mulai lelah pun memutuskan untuk berhenti berlari. Kai yang tidak menyangka Nara akan berhenti akhirnya menabrak Nara. Mereka bertabrakan cukup kencang hingga membuat mereka jatuh. Mereka jatuh dengan berpelukan, mereka pun saling bertatapan dan mulai tertawa. Mereka sama-sama tidur terlentang dan tertawa sangat lepas. Tingkah mereka menarik perhatian anak-anak yang ada di kelas untuk melihat mereka dari jendela.

“Nara. Kai. Apa yang kalian lakukan di lapangan, hah?” tanya seorang guru dengan galak.

Nara dan Kai buru-buru bangkit berdiri. Mereka berdiri dengan menundukkan kepalanya. Mereka pun dimarahi oleh guru tersebut. Saat sedang dimarahi, mereka saling lirik. Kemudian mereka terkikik bersama.

“Kalian. Apa kalian tidak mendengarkan Ibu, hah. Pulang sekolah nanti kalian harus datang ke ruangan Ibu. Sekarang kalian kembali ke kelas.” Setelah mengatakan itu, guru tadi meninggalkan mereka.

Setelah guru itu pergi, Kai dan Nara pun mulai tertawa. Benar-benar pengalaman yang menyenangkan dan tak terlupakan.

***
 
Kai’s view

 

Saat di perjalanan pulang dari makam orang tua Nara, entah kenapa aku ingin datang ke SDku dulu. Rasanya aku ingin mengenang kembali masa kecilku dulu. Akupun melajukan jeepku menuju SDN Teitan.

Aku sampai di SD ku tak sampai satu jam. Kemudian aku memarkirkan mobilku di sebelah mobil sedan warna putih. Aku keluar dari jeep ku, aku kembali memperhatikan mobil sedan itu. Entah kenapa mobil ini terasa tidak asing. Sepertinya aku pernah melihat mobil ini.  Setelah itu aku segera masuk ke sekolah. Aku menyapa satpam sekolah yang baru. Satpam sekolah ini diganti karena satpam yang lama telah meninggal, untungnya aku sempat menghadiri acara pemakamannya.

Kemudian aku kembali melangkahkan kakiku masuk ke gedung sekolah. Suasana sekolah sepi karena sedang jam pelajaran, jam istirahat sepertinya sudah lewat. Saat aku sedang berjalan di koridor kearah taman sekolah, tiba-tiba angin berhembus dari arah depanku. Membawa aroma sesuatu yang sangat familiar. Aroma yang kucium saat di makam tadi. Aroma yang selalu kusukai, sejak aku kelas 4 SD. Aroma milik seseorang yang membuatku bisa menikmati masa kecilku. Orang yang sangat aku rindukan dan sangat ingin kutemui.

Aku berlari kearah taman. Di taman aku hanya melihat bangku kosong yang diatasnya ada sebuah buku. Aku mendekat kearah bangku taman, kemudian aku mengambil buku tersebut. Aku melihat kover buku tersebut, ini adalah Buku Tahunan Siswa angkatanku. Aku mulai membuka-buka buku tersebut. Siapa yang meletakkan buku ini disini? Tanyaku sambil membolak-balik buku tersebut. Saat aku sedang membolak-balik buku tersebut, tiba-tiba saja aku mendengar suara wanita.

“Maaf, itu buku milikku.” Ucap wanita tersebut yang membuatku kaget.

Saat aku menolehkan kepalaku untuk melihat siapa pemilik buku ini, tiba-tiba angin berhembus dari arah depan membuatku mau tak mau menutup mata, takut terkena debu. Saat hembusan angin mulai tenang, aku membuka mata. Aku melihat seorang wanita berambut panjang dengan wajah oval. Satu kata dariku untuk mendeskripsikan wanita tersebut, cantik. Tapi rasanya wanita ini sangat familiar. Kami bertatapan cukup lama, sampai aku menyadarinya.

“Nara...” ucapku lemah.

Aku tahu siapa wanita yang ada didepanku ini. Wanita yang selama ini ku tunggu kehadirannya, yang kukira hanyalah sebuah mimpi aku bisa bertemu lagi dengannya. Aku yakin jika wanita ini adalah Nara. Aku hampir saja memeluknya jika tidak melihat tatapannya. Wanita ini menatapku dengan wajah bingung, dia sedikit menelengkan kepalanya ke kanan. Tiba-tiba aku merasa malu. Malu karena ternyata sudah salah mengira orang.

“Oh maaf. Sepertinya aku salah orang. Dia adalah temanku saat SD. Teman pertamaku setelah aku pindah kesini.” Ucapku buru-buru, takut membuatnya salah paham.

“Ini bukumu kan? Maaf aku menemukannya ada di atas bangku taman. Kukira ini adalah milik salah satu teman angkatanku. Ini, aku kembalikan. Sekali lagi aku minta maaf.” Ucapku sambil menyerahkan buku itu.

Kulihat dia sudah menegakkan kepalanya. Dia menatap lurus kedepan, tapi tatapannya kosong. Aku mengibas-kibaskan tanganku di depan wajahnya, berniat untuk menyadarkannya. Kemudian dia tersentak kaget. Lalu dia menatapku, aku balas menatapnya bingung. Lama kami bertatapan, tatapan ini benar-benar mengingatkanku pada Nara. Aku melihat bagaimana ekspresi wanita ini. Dia masih menatapku, namun dengan tatapan yang tak bisa kujelaskan.

“Hei, apa kau baik-baik saja?” Tanyaku sedikit khawatir.

Dia hanya diam saja, tak berniat untuk menjawab. Tapi saat aku ingin menanyakan keadaannya lagi, dia membuka mulut. Aku menunggunya untuk berbicara. Dengan ragu-ragu dia mengeluarkan suaranya. Sangat pelan sampai aku tak mendengarnya. Kemudian aku menyuruhnya untuk mengatakannya lagi dengan suara yang lebih keras.

“Kai...” Dia mengatakannya masih dengan suara yang kecil. Tapi angin menyampaikan suaranya dengan sangat jelas.

Aku langsung menolehkan wajahku menatap wajahnya. Wanita ini juga sedang menatapku. Jantungku berdegup dengan kencang. Inikah saatnya? Inikah waktu pertemuanku kembali dengannya? Tiba-tiba saja Nara menitikkan air matanya. Dia buru-buru menghapus air matanya menggunakan punggung tangannya.

“Maaf, sepertinya aku terlalu bahagia bisa bertemu denganmu. Aku belum pernah seperti ini sebelumnya.” Ucapnya.

Perkataannya membuatku segera menariknya kedalam pelukanku. Aku memeluknya sangat erat seakan takut ada orang lain yang akan mengambilnya dariku. Isakan-isakan kecil mulai terdengar. Aku tahu dia sedang melewati masa-masa yang sulit dalam hidupnya. Dan aku ingin akulah yang ada disampingnya, menemaninya melalui masa-masa itu. Aku membiarkan dia menangis, menunggunya sampai dia lelah untuk menangis. Sampai semua beban berat yang dipikulnya terangkat.

***

Kita duduk berdampingan di bangku taman. Kami berdua hanya saling diam, tak tahu harus mengatakan apa? Tapi, menurutku begini sudah lebih dari cukup. Setidaknya aku bisa mengawasinya dan memastikan bahwa dia baik-baik saja. Aku benar-benar takut kehilangannya lagi.

Aku menatap wajahnya yang sedang menatap lurus ke depan dari samping. Apa yang sedang dia pikirkan? Dia semakin cantik dari terakhir kali kulihat, sepuluh tahun yang lalu. Dan dia benar-benar kehilangan senyumnya. Sekarang yang aku pikirkan adalah, apakah aku bisa mengembalikan senyumnya itu? Senyum yang sangat aku sukai. Senyum yang mampu menularkan kebahagiaan.

“Bagaimana kabarmu?” Tanya Nara pada akhirnya.

Dia menatapku, menunggu jawaban dariku. Aku jadi sedikit salah tingkah ditatap Nara seperti itu. aku menggosok-gosok tengkukku, grogi.

“A... aku... aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” Ucapku sedikit terbata.

“Seperti yang kau lihat. Aku... baik-baik saja.” Dia menjawab dengan nada yang meragukan.

“Kapan kau kembali?” tanyaku lagi.

“Kemarin siang aku sampai.” Jawabnya singkat.

“Kau tak mengabari ku?”

“Aku takut.” Balasnya lemah.

“Kau takut padaku?”

Aku tahu pertanyaan-pertanyaanku akan membuatnya merasa terpojok. Tapi biarlah, aku benar-benar ingin tahu yang ada dipikirannya.

“Bukan begitu. Aku hanya takut bertemu orang-orang yang ada di masa laluku.”

Jawabannya benar-benar membuatku kaget dan sedikit emosi. Aku jadi merasa, aku ini tidak memiliki arti apa-apa baginya. Padahal selama ini aku selalu memikirkannya..

“Aku takut jika harus mengenang masa lalu, karena yang akan teringat olehku hanyalah kecelakaan itu.” tambahnya dengan nada sedih dan menundukkan kepalanya.

Sekarang aku benar-benar marah. Tapi aku marah pada diriku sendiri, karena aku tidak ada saat dia melalui masa tersulit dalam hidupnya. Kemudian aku bangkit dari dudukku, membuat Nara menolehkan kepalanya melihatku. Aku berdiri menghadapnya, kuulurkan tanganku. Aku menunggunya menyambut tanganku. Kemudian dia menerima uluran tanganku. Aku menariknya untuk berdiri.

“Mulai sekarang, tak akan ada lagi kesedihan yang mengikatmu. Mulai sekarang, aku akan selalu ada disisimu, menjadi sumber kebahagiaanmu.” Ucapku sambil tersenyum lembut.

Aku membelai wajahnya lembut. Menunggunya memberiku jawaban atas pernyataanku.

“Iya.” Jawabnya pelan, tapi aku bisa mendengar nada percaya dari suaranya itu.

Dan untuk pertama kalinya setelah sepuluh tahun, aku melihat senyumannya. Senyuman favoritku. Dan mulai sekarang aku berjanji pada diriku, aku akan selalu membuatnya bahagia. Selamanya.

***
Nara’s view


Tuhan, seperti katanya. Mulai sekarang, detik ini, aku hanya akan mengizinkan diriku untuk bahagia. Tak akan ku biarkan kesedihan mendatangiku, bahkan hanya sekedar menyapa.

Mama, Papa, sekarang aku sudah menemukan kembali kebahagiaanku. Mom, Dad, terima kasih untuk semuanya.

Sekarang aku percaya bahwa setiap manusia memang memiliki kebahagiaannya masing-masing. Dan dia berhak atas kebahagiaannya itu. Sebenarnya, bahagia itu sederhana. Tapi ternyata, aku memilih untuk membuat kebahagiaanku terasa sulit untuk kudapat. Tapi sekarang, bersama Kai, aku yakin aku bisa menjalani sisa hidupku dengan penuh kebahagiaan.

Aku yakin itu.

***

Hei Kai, bagaimana menurutmu tentang arti dari kebahagiaan itu?
 
Menurutku bahagia itu sederhana. Karena aku bisa merasa bahagia karena hal-hal yang sederhana.

Oh ya? Bisa kau berikan satu hal sederhana yang membuatmu bahagia itu?

Emm...baiklah. Tapi… apa kau benar-benar ingin tahu?
 
Tentu saja.

Baiklah. Apa kau mau bermain rambatan lagi denganku?

Hah?

Bermain rambatan denganmu adalah satu dari sekian kebahagiaanku. Karna sudah ku bilang, bahagia itu sederhana.

Baiklah, ayo kita bermain lagi.

 The End
 
 

 
Akhirnya selesai juga ini cerita....  semoga para pembaca nyambung sama ceritanya yaw \^.^/
 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar