Hai semua......
Ini adalah cerita pertama yang dibuat oleh author sampe selesai.
Jadi, mohon dimaklumi kalo masih banyak typo dan ceritanya aneh..
Selamat membaca \^.^/
PERMAINAN DI MASA LALU
Karya : Halimah
Indah Sari
“Sudah ku bilang aku tidak
selingkuh!” Teriak
seorang pria paruh baya yang sedang mengendarai mobil.
“Bohong! Aku melihatmu bersama
wanita itu dengan mata kepalaku sendiri. Kau tidak bisa mengelak lagi.“ balas
sang istri.
Mobil yang dikendarai sang suami
melaju dengan sangat cepat. Untungnya saat itu tengah malam sehingga jalanan
sedikit lengang. Penumpang mobil yang dikendarai oleh pria paruh baya tersebut
tidak hanya dia dan istrinya, tapi juga ada seorang gadis kecil, anak pasangan
suami istri yang sedang bertengkar itu. Gadis kecil itu terbangun oleh suara
berisik pertengkaran kedua orang tuanya.
“Mama, Papa, kenapa berisik?“
Tanya gadis kecil
tersebut sambil mengucek mata menggunakan kedua tangannya. Pertanyaan gadis
kecil tersebut tak dihiraukan oleh kedua orang tuanya.
“Aku nggak mau tahu.
Pokoknya aku mau cerai!“ Teriak
sang istri lagi.
“Apa kau gila. Ini hanya sebuah
kesalahpahaman. Dan kau memintaku menceraikan mu?“ Balas sang suami.
Akibat pertengkaran itu, sang
suami menjadi kurang fokus menyetir. Berkali-kali ia menengok kearah sang
istri, berusaha meyakinkan sang istri bahwa itu hanyalah sebuah kesalahpahaman.
Tapi sang istri tetap keras kepala dan tidak mau mempercayai perkataan sang
suami.
“Aku sudah lelah dengan semua
ini. Sekalipun aku mempercayaimu, aku sudah tidak bisa lagi mempertahankan
pernikahan ini.“ ucap sang istri lemah. Tiba-tiba emosi sang suami meledak.
“Apa maksudmu hah! Apa yang
membuatmu begini? Selama ini aku selalu mempercayaimu.“ bentak sang suami.
“Kau! Selama ini aku juga
mempercayaimu. Tapi apa daya, aku sudah tidak tahan melihat kebersamaan antara
kau dengan sekretarismu itu. Sekalipun kau mengatakan ini hanyalah sebuah
kesalahpahaman. Aku sudah muak dengan semua ini!“ balas sanga istri tak kalah
kencangnya.
“Lalu, sekarang apa maumu, hah?”
Tanya sang suami dengan bentakan.
“Sudah ku bilang aku minta cerai!“
Balas sang istri singkat.
“Papa, awas pohon!“ sebuah suara
menyadarkan mereka, didalam mobil ada orang lain, anak mereka. Sontak mereka
melihat kearah depan. Didepan mereka ada sebuah pohon besar yang berdiri dengan kokohnya. Sang suami membanting setir, tapi
sayang semuanya
sudah terlambat.
“Brakk”
Mobil itu menabrak pohon besar tersebut. Asap
keluar dari kap mobil bagian depan.
“Papa… Mama...,“ hanya suara rintihan dari si
gadis yang terdengar. Setelah itu semuanya menjadi sunyi. Gelap.
***
Nara’s view
Hosh... hosh….
Aku terbangun dari tidurku. Aku
terbangun dengan terengah-engah, keringat dingin mengucur di sekujur tubuhku. Aku
kembali bermimpi tentang peristiwa itu. Peristiwa yang merubah hidupku.
Peristiwa yang terjadi Sepuluh
tahun silam. Peristiwa itu telah merenggut semua dariku. Orang tuaku, kebahagiaanku, dan
hidupku. Aku tak pernah bisa untuk melupakannya. Tapi aku juga tak pernah
mencoba untuk mengingatnya. Akhir-akhir ini aku sering memimpikan peristiwa
itu, seakan ingin mengingatkanku pada masa-masa
tersulit dalam
hidupku.
Aku melirik jam yang ada diatas
nakas. Pukul 03.30 Am. Sebenarnya ini masih terlalu pagi untukku bangun, tapi
berkat mimpi itu, sekarang aku sudah tak berniat lagi untuk tidur. Aku turun
dari ranjangku dan pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahku. Aku melihat
pantulan wajahku di cermin. Wajahku terlihat tidak terlalu baik, rambutku
sedikit kusut, dengan mata yang terlihat seperti mata panda. Aku tersenyum
miris, bahkan sekarang aku tidak bisa lagi tersenyum dengan tulus. Aku sudah lupa bagaimana
caranya untuk tersenyum setelah peristiwa itu. Aku kembali mengenang peristiwa
itu, kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuaku.
Kecelakaan itu terjadi tepat sepuluh tahun yang lalu. “Haah…,“ aku menghela nafas, teringat hari
ini tepat sepuluh
tahun sejak kecelakaan itu. Dan hari ini aku genap berusia 22 tahun. “Ck,“
decakku saat aku teringat bahwa kecelakaan itu terjadi di hari ulang tahunku
yang ke-12. Sebelum kecelakaan aku benar-benar menunggu datangnya hari itu.
Tapi saat ini, aku benar-benar tidak ingin hari itu ada.
Tidak pernah. Jangan
lagi.
Aku menengadahkan kepalaku, mencegah air mataku
mengalir. Tapi kali ini,
aku kembali gagal. Bulir-bulir air perlahan mulai mengalir dengan bebas dipipiku.
Aku jatuh terduduk, memeluk tubuhku sendiri. Aku kembali menangis tanpa suara.
Entah kenapa, setiap hari peringatan kematian orang tuaku, aku tak pernah
sanggup untuk membendung segala emosi yang berkecamuk di dalam hatiku. Aku
benci diriku yang selalu menangisi hal yang sama. Aku benci diriku yang lemah.
Kapan datangnya hari di saat
ada orang yang mampu membangun tanggul kokoh untuk mencegah air mataku
mengalir kembali. Akankah hari itu datang?
Drrt… drrt…drrt….
Aku mengusap air mataku dan
bangkit untuk menjawab panggilan dari ponselku. “Mom…“ Itu nama yang
tertera di layar ponselku. Aku mengangkatnya dengan berat hati.
“Ya, Mom. Ada apa
pagi-pagi sudah menelpon?“
“Memangnya harus ada alasan jika
seorang ibu menelpon putrinya?“
“Baiklah, tidak ada. Lalu? Apa
yang ingin Mom katakan? Ini masih terlalu pagi untuk menelpon Mom.
Apa Mom tidak tahu sekarang pukul berapa?“ tanyaku tak habis pikir.
“Mom tahu ini masih sangat
pagi... tapi Mom juga tahu kalau sekarang kau pasti sudah terbangun dari
tidurmu. Mom mengenalmu, Nara.“ Sunyi. “Selamat
ulang tahun.”
Aku tidak membalas perkataan Mom.
Mendengarnya mengatakan itu,
membuatku ingin menangis lagi. Aku menengadahkan kepalaku, mataku sudah mulai
berair lagi. Sialan, bisakah kau berhenti
jadi gadis cengeng, hah.
“Apa kau masih disana? Apa... apa kau baik-baik saja? Apa aku harus kesana?“
pertanyaan Mom yang bertubi-tubi dengan nada khawatir membuatku kembali
sadar, ternyata ada
orang lain yang masih mengkhawatirkan ku. Di dunia
ini aku tak sendirian.
“Mom, pelan-pelan jika
bertanya. Aku baik-baik saja. Aku... aku akan ke rumah nanti siang.“
aku mendengar helaan nafas dari seberang sana. Sebesar itukah kau mengkhawatirkan ku?
“Mom, aku masih mengantuk,
aku ingin kembali tidur.“
“Oh, tentu. Baiklah kalau begitu.
Selamat beristirahat. Semoga mimpi indah. Akan ku buatkan makanan kesukaanmu.
Ku tunggu kau di rumah. Mom punya hadiah spesial untuk ulang tahunmu kali
ini. See you. “ Ucap
Mom
dengan bersemangat.
“See you.“ Jawabku
singkat.
Setelah
meletakkan kembali ponselku ke atas meja, aku berjalan menuju jendela apartemenku dan melihat
ke arah jalanan
kota New York yang masih lengang. Aku kembali menyunggingkan senyum miris ku. Hadiah
spesial? Setiap tahun aku selalu mendapatkan hadiah spesial. Aku lupa bahwa selama sepuluh tahun terakhir aku memiliki
orang tua baru.
Setelah kecelakaan itu, paman dan
bibiku yang ada di Amerika langsung terbang menuju Indonesia. Mereka
benar-benar sangat bahagia saat mengetahui bahwa aku masih selamat,
dan menjadi satu-satunya
korban yang selamat. Terutama bibiku.
Setelah itu, mereka memutuskan
untuk membawaku pindah ke Amerika,
karena
memang merekalah keluargaku yang tersisa. Aku adalah anak tunggal, dan aku
sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain mereka. Sebelum pindah, mereka
mengurus semua hal. Dari proses pemakaman kedua orang tuaku sampai proses
adopsi ku. Mereka mengambil jalan yang menurut mereka adalah yang terbaik.
Mengadopsi ku sebagai anak. Mereka tidak memiliki anak, karena bibiku mandul.
Dan mereka sangat menyayangiku. Setiap kali berkunjung ke Indonesia mereka
selalu memberiku
berbagai macam hadiah dan selalu mengajakku jalan-jalan.
Dan aku benar-benar bahagia.
Tapi itu dulu. Saat aku masih bisa tersenyum dengan riang. Saat orang tuaku masih ada. Dan
saat kecelakaan itu belum terjadi.
Mengenang masa kecilku membuatku
mengingat seseorang. Seseorang di masa laluku. Teman bermainku. Tapi aku lupa
siapa namanya. Bahkan bayangan wajahnya pun mulai memudar. Sepertinya
aku sangat terlena dengan dukaku. Lama-lama
aku jadi penasaran, siapa orang itu. Seseorang yang kadang masuk kedalam
mimpiku, dan membuatku tenang ketika tidur.
Semoga orang itu tak melupakanku,
seperti aku yang melupakannya. Aku butuh seseorang untuk membantuku menemukan
kembali kebahagiaanku.
***
Kai’s view
“Hoaammmm….”
Aku menguap sambil meregangkan
otot dan sendi-sendi ku. Aku terduduk dengan mata yang masih sayup, berusaha
untuk mengumpulkan sisa nyawaku yang masih di awang-awang. Aku melirik jam yang
ada diatas meja. Pukul 07.00. mataku membelalak. Setelah nyawaku terkumpul semua, aku menyibakkan
selimut dan turun dari ranjangku yang sangat nyaman. Aku berjalan dengan terburu-buru, mengambil handuk yang ada di
depan kamar mandiku dan masuk kekamar mandi. Untuk apa? Tentu saja untuk mandi.
Bodoh. Hari ini aku ada janji, dan dengan bodohnya aku melupakan janji itu. Dan
ini semua karena skripsiku.
Setelah mandi aku bergegas
memakai baju dan celana. Hari ini aku memakai celana jeans warna biru pudar dan
T-shirt
warna putih. Aku memakai sepatu kets ku dan mengambil ransel serta
jaketku, lalu turun kebawah untuk
sarapan.
“Pagi Ma, pagi Pa.” sapaku kepada
kedua orang tuaku. Aku mencium pipi kanan Mamaku dan menarik satu kursi untukku
duduk.
“Pagi Dimas. Kamu mau kemana? Kok
tumben baru jam segini udah siap aja?”
tanya Mama.
“Hari ini aku ada janji sama
temenku.” Jawabku singkat.
“Gimana perkembangan skripsimu?”
kali ini Papa yang bertanya, beliau bertanya tanpa mengalihkan tatapan dari
koran pagi yang sedang dibacanya.
“On progress” jawabku sekenanya.
Sebenarnya skripsiku sudah hampir
selesai, tapi jika aku mengatakannya, sudah pasti aku tidak bisa pergi
sesuka ku. Aku memakan rotiku dengan terburu-buru sampai aku hampir tersedak.
Aku segara meminum air yang sudah disediakan oleh Mama.
“Kalo makan jangan
buru-buru.” Nasihat Mama saat melihat tingkahku. Sedangkan Papa hanya melihatku
sekilas lalu melanjutkan acara membaca korannya.
“Emang kamu mau kemana sih?”
Sekadar info, itu tadi suara Papa.
“Aku harus ke perpustakaan, ada janji sama temen.”
“Temen apa temen?” goda
Mama. Aku hanya mengendikkan bahu menanggapinya.
Selesai sarapan aku langsung
bergegas menyambar tasku lalu mencium pipi kanan mama dan pamit. Aku segera ke
garasi untuk mengeluarkan mobil Jeep ku,
mobil ini adalah hadiah dari papa
saat aku berhasil masuk ke FH UI. Aku mulai melajukan mobilku di jalanan
kompleks tempatku tinggal. Sebenarnya aku tidak ada janji apapun dengan
temanku, tapi aku ada janji dengan diriku sendiri. Aku berjanji pada diriku
sendiri bahwa aku harus ke tempat itu
setiap tahun.
Sekilas saat aku melewati rumah
milik teman kecilku, aku melihat beberapa orang disana. Sepertinya sedang ada
renovasi. Tiba-tiba jantungku berpacu dengan sangat cepat, aku melambatkan laju
mobilku. Apakah dia akan kembali? tanyaku dalam hati. Tapi
pikiran lain muncul, mungkin saja rumah itu sudah dijual. Setelah meyakinkan
diri, aku mulai menginjak gas mobilku dan Jeep ku
melaju dengan cepat ke tempat itu. Tempat
dimana terakhir kalinya aku melihat dia.
Yaitu tempat peristirahatan terakhir orang tuanya.
***
Nara…
Dari dulu sampai sekarang, nama
itu tak pernah enyah dari benakku. Seberapa besar pun aku berusaha untuk
menghapusnya. Dia adalah teman yang paling ku sayang. Cinta pertamaku. Dan aku
selalu tersenyum saat aku mengenang masa dimana kita masih bermain dan tertawa
bersama. Namun seketika aku akan sedih saat mengingat peristiwa yang membuatnya
berubah 180ยบ. Peristiwa yang terjadi tepat sepuluh tahun lalu. Kecelakaan yang
menewaskan kedua orang tuanya, kecelakaan yang merenggut senyumnya. Senyum yang
selalu ku suka.
Setelah sekitar satu jam perjalanan, akhirnya aku
sampai di tempat pemakaman orang tua Nara. Aku mengambil bunga yang kubeli saat
di perjalanan tadi. Kucium bunga itu. Harum. Bunga mawar putih, bunga kesukaan
Nara. Aku tersenyum mengingatnya. Aku mulai melangkahkan kakiku ke makam orang
tua Nara. Sebenarnya hari peringatan kematian orang tua Nara adalah dua hari
yang lalu, tapi karena skripsi aku sempat melupakannya.
Saat aku sampai, aku juga melihat serangkai
bunga mawar putih. Masih segar, sepertinya masih baru. Tiba-tiba angin
berhembus, mengantarkan sebuah aroma yang sangat familiar, yang selalu
ku rindukan. Ku pejamkan mataku untuk merasakan aroma tersebut, dan aku seperti di bawa ke masa lalu. Aku seperti
baru saja melihatnya di sini.
Aku segera memutar kepalaku ke kanan
dan ke kiri. Tapi
tak ada siapapun. Aku segera ke luar
dari tempat pemakaman, namun di luar
pun sama, tak ada tanda-tanda bekas keberadaannya. Yang ada hanya orang-orang
yang berlalu lalang
dan melakukan dengan aktivitasnya masing-masing.
Setelah lelah mencari dan tak
mendapatkan hasil apapun, aku kembali ke makam orang tua Nara. Apa mungkin ini hanya imajinasiku saja? pikirku
dalam hati. Setelah aku meletakkan bunga dan berdoa, aku keluar menuju
mobilku. Aku masuk ke mobil dan melajukannya. Sepertinya aku sangat lelah
akibat skripsi, sampai-sampai aku berimajinasi hal-hal yang tidak mungkin.
Sial.
Jalanan mulai macet, jangan
sampai aku terjebak kemacetan ini. Lampu pun berganti dari hijau ke merah, aku
menghentikan mobilku. Ataukah karna aku
terlalu merindukannya? Atau
kau sebenarnya sudah kembali? Itu
yang aku pikirkan sekarang. Mungkin saja pemikiranku ini tidak salah. Bisa saja
Nara sudah kembali. Oh, Astaga.
Memikirkannya saja sudah membuat jantungku berdebar tak karuan. Lampu berganti
warna menjadi hijau. Aku melajukan mobilku dengan kecepatan normal. Lebih baik
sekarang aku pulang dan istirahat.
Nara, selamat ulang
tahun ke-22. Semoga kau segera menemukan kembali kebahagiaan mu. Jika itu bukan
aku, setidaknya izinkan aku membantumu menemukannya.
***
Nara’s view
“Mom, aku datang….” ucapku sambil meletakkan handbag ku di sofa.
Kulihat rumah sepi. Dimana Mom dan yang lain? Tanyaku
dalam hati. Saat aku berjalan menuju dapur untuk mengambil minum, aku melihat
seorang pembantu keluar dari ruang perpustakaan rumah. Dia terlihat sedikit
terkejut saat melihatku. Tapi itu hanya sebentar, sepersekian detik setelah itu, dia langsung memberiku senyum
ramah. Aku hanya menganggukkan kepalaku.
“Dimana Mom?” tanyaku.
“Nyonya ada di kamarnya, Nona.
Jika Nona ingin menemuinya, Nona bisa langsung ke kamarnya. Itu pesan Nyonya.”
Dia menjawab dengan tetap senyum.
“Baiklah, aku akan kekamarnya. Oh
ya, Bibi, bisakah kau buatkan aku Green
Tea hangat?”
“Tentu Nona, ada lagi?” tanyanya
ramah.
“Tidak, itu saja. Terima kasih.”
Bibi hanya tersenyum dan sedikit
membungkukkan badan saat aku berjalan melewatinya. Aku berjalan dengan sedikit
enggan menuju kamar Mom yang ada di lantai dua. Selama
ini aku selalu mendapatkan hadiah spesial dari Mom dan Dad. Tapi tak ada yang benar-benar
spesial bagiku. Tapi aku tetap menghargai usaha mereka untuk membuatku bahagia.
Tok…tok...tok….
Aku sedikit membuka pintu kamar
dan melongokkan sedikit kepala setelah mengetuk pintu. Kulihat Mom ada
di balkon kamar. Aku membuka pintu lebih lebar dan berjalan menghampirinya. Aku
memeluk Mom dari belakang. Meskipun Mom bukan ibu kandungku, aku
tetap menyayanginya.
“Mana hadiahku?” Tagihku sambil
menodongkan tanganku kedepan wajahnya, Mom tertawa kecil sebelum menjawab.
“Dasar kau ini. Kau bahkan belum
menyapa Mom.” Mom membalikkan badan dan balas memelukku. Pelukan yang hangat.
“Selamat ulang tahun, Nara.
Semoga apa yang kau inginkan dapat tercapai.” Mom mengatakannya
sambil mencium keningku. Aku menatapnya, hanya sinar ketulusan yang terpancar
dari tatapannya itu. Satu hal yang ku sadari. Mom benar-benar menyayangiku.
“Lalu
mana hadiahku?” Aku melepaskan diriku dan kembali menodongkan tanganku.
Cklek.
Suara
pintu kamar yang terbuka diikuti dengan langkah kaki seseorang membuatku
membalikkan badan untuk melihat siapa yang datang. “Dad?” ucapku
bingung. “Bukannya kau ada janji dengan kolegamu?” tanyaku sambil
menghampirinya. Dad langsung memelukku, aku pun membalas pelukannya. Pelukan yang hangat. Entah kenapa aku
jadi sedikit sentimentil.
“Selamat
ulang tahun, Honey.” Ucap Dad
seraya melepaskan pelukannya.
Kudengar
langkah kaki dari belakang, Mom menghampiri kami. “Kau akan segera
mendapatkan hadiahmu, Nara” ucap Mom lembut. Aku menatap mereka
bingung, dan mereka hanya tersenyum sambil membalas tatapanku. Aneh. Sepertinya
ada yang disembunyikan.
“Sebenarnya
ada apa?” tanyaku curiga.
Kemudian Dad
berjalan kearah nakas. Beliau membuka laci dan mengambil sebuah amplop coklat.
Kemudian Dad memberikan amplop tersebut kepadaku. Aku menatap mereka
bingung, dan lagi-lagi senyuman lah yang aku dapatkan dari mereka. Akhirnya aku
membuka amplop tersebut. Hanya ada satu kertas panjang dan kecil didalamya. aku
membaca kertas tersebut, dan ternyata itu adalah sebuah tiket pesawat. Aku
membelalakkan mataku.
“Indonesia?
Hari ini?” tanyaku tak habis pikir. “Apa maksudnya?”
“Nara,
sudah waktunya kamu mencari kebahagiaanmu lagi. Kami sudah tidak tahan
melihatmu terus murung tanpa tahu apa yang harus kami lakukan.” Ucap Mom.
Aku
menatap Mom
dan Dad, mereka masih tersenyum. Namun mata Mom tak bisa
menutupi apa yang sebenarnya ia rasakan. Aku memeluk Mom erat. Mom
membalas pelukanku dengan lebih erat. Aku tahu ini adalah keputusan yang berat
untuknya. Dan aku mulai merasakan bahuku sedikit basah. Mom menangis
tanpa suara. Ku pejamkan mataku untuk mencegah air mengalir dari mataku.
Isakan
kecil mulai terdengar. Aku melepaskan pelukanku, dan Mom langsung
menutup wajah dengan kedua tangannya. Aku juga melihat Dad menengadahkan
kepalanya. Aku kembali memeluk Mom dan mengusap-usap punggungnya,
berniat untuk menenangkannya. Tapi isakannya malah semakin kencang. Kulihat Dad
pergi meninggalkan kamar. Sepertinya Dad tidak sanggup melihat Mom menangis
seperti ini.
Setelah Mom cukup
tenang, aku melepaskan pelukanku. Mata Mom
sangat merah dan basah. Jika sudah begini apa yang harus ku lakukan.
“Padahal Mom sudah
berjanji kepada Dad agar tidak menangis. Tapi sepertinya Mom
tidak bisa. Dad pasti kecewa makanya dia meninggalkan kita.” Ucap
Mom sambil mengusap air matanya.
“Mom,
apa aku harus pergi?” tanyaku dengan ragu.
Kemudian Mom
memberiku senyuman hangat yang menenangkan.
“Itu
pilihanmu Nara. Tapi Mom dan Dad ingin mengembalikan senyummu
lagi. Kami benar-benar menyayangimu.” Aku tak membalas perkataannya. Kemudian
beliau membalikkan badanku dan mendorongku untuk keluar kamar.
“Cepatlah
siap-siap. Pesawatmu akan Take off
pukul dua siang. Dad akan mengantarmu.” Ucap Mom sebelum
aku benar-benar keluar kamar. Aku menghentikan langkahku dan membalikkan badan
menatap Mom.
“Mom
tidak ikut mengantarku.” Tanyaku sedikit kecewa.
Mom
hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. Aku pun mengangguk. Aku mengerti
perasaanya. Melepaskan putri semata wayangnya adalah hal yang sulit baginya.
Aku juga pernah merasakan hal itu. Saat aku harus melepaskan kedua orang tuaku,
untuk selamanya.
Aku
berjalan menuruni tangga menuju kamarku. Saat aku melewati perpustakaan, dari
pintu yang terbuka, aku melihat siluet Dad yang sedang menatap kearah
luar jendela dengan kedua tangannya yang berada didalam saku celana. Aku tahu
ini juga keputusan yang sulit untuk Dad. Meskipun Dad cenderung
pendiam, tapi aku tahu Dad selalu memperhatikanku. Aku benar-benar
merasa bersalah dan bingung. Bersalah karena telah membuat Mom dan
Dad bersedih. Dan bingung dengan pilihanku. Apakah aku benar-benar akan
mendapatkan kebahagiaanku lagi jika aku kembali ke Indonesia?
Akhirnya
aku menghampiri Dad. “Apa kau sudah bersiap-siap?” tanya Dad
tanpa memalingkan wajah dari arah jendela. Aku menghentikan langkahku saat aku
dan Dad hanya berjarak satu meter.
“Belum.”
jawabku singkat. Hening.
“Dad,
apa menurutmu kebahagiaan akan datang padaku lagi?” tanyaku ragu. Dad
membalikkan badannya dan menatapku lembut.
“Tentu
saja, Nara. Kebahagiaan adalah hak setiap manusia yang diberikan oleh Tuhan. Mom
dan Dad tahu ini adalah keputusan yang berat bagi kami. Kau juga tahu
itukan? Tapi kami juga tahu bahwa kau punya hak untuk bahagia. Kembalilah ke
Indonesia. Temukanlah kembali kebahagiaanmu. Dan jangan sampai kau kembali
kesini jika kau belum berhasil menemukannya.”
Perkataan
Dad menyadarkanku. Benar. Aku punya hak untuk bahagia. Dan aku yakin,
Tuhan sudah menyiapkan kebahagiaan untukku. Tinggal bagaimana caranya agar aku
menemukan kebahagiaan tersebut.
“Nah,
sekarang sudah pukul 12.30 siang. Sudah waktunya kau bersiap-siap. Siapkan juga
mentalmu.” Ucapan Dad menarikku kembali ke dunia nyata. Aku harus
bersiap-siap untuk membuka lembaran baru dalam hidupku.
***
Huft…
Setelah
hampir seharian aku berada di pesawat, akhirnya aku sampai juga. Bandara
Soekarno-Hatta. Sepuluh tahun lalu aku juga menginjakkan kakiku di sini. Tapi
dengan tujuan yang berbeda. Jika sepuluh tahun lalu aku di sini untuk pergi,
sekarang aku di sini untuk kembali.
Setelah
keluar dari bandara, aku langsung masuk ke dalam taksi yang sudah siap menanti
penumpang. Aku memberikan alamat rumahku yang lama. Dad bilang rumah
sedang di renovasi, tapi sudah bisa ditempati. Mereka benar-benar menyiapkan
semuanya dengan baik.
Saat
taksi yang ku tumpangi melewati sebuah universitas, aku jadi teringat dengan
kuliahku. Ijazahku akan di kirim secepatnya oleh Dad. Tapi aku sedih
karena tidak bisa mengikuti wisuda ku.
Setelah
sekitar dua jam perjalanan, akhirnya aku sampai di depan rumahku. Suasana rumah
ini cukup ramai karena masih ada renovasi. Aku melihat seseorang yang memakai
pakaian putih hitam dengan topi. Sepertinya itu satpam yang baru. Satpam
rumahku sudah berganti. Dulu aku sering bermain dengan satpam rumahku, beliau
juga sering mengajak anaknya untuk bermain denganku. Tapi itu sepuluh tahun
lalu, sekarang semuanya sudah berubah.
“Sudah
sampai, Non?”
Pertanyaan
supir taksi tersebut menyadarkanku. Aku pun segera membuka tas dan mengambil
uang di dompet dan memberikannya kepada supir taksi tersebut. Kemudian aku
keluar dari taksi. Lembab. Udara di Jakarta sangat berbeda jauh dengan udara
yang ada di New York. Supir taksi tadi juga ikut turun untuk membantuku
mengeluarkan koper dan barang bawaanku yang lain. Setelah selesai mengeluarkan
barang-barangku, supir tersebut pamit pergi.
Aku masih
bediri di depan rumah. Sepertinya belum ada yang menyedari kedatanganku sampai
ada seorang wanita paruh baya yang keluar dari rumah. Sepertinya aku pernah melihatnya. Wanita itu menyadari
kedatanganku, seketika matanya membelalak.
“Non
Nara.” Teriak wanita tersebut.
Mendengar
suaranya aku jadi ingat. Wanita itu adalah salah satu pembantu dirumahku. Kalau
tidak salah, namanya adalah Sumi, Bi Sumi. Beliau langsung menghampiriku dan
segera memelukku. Tubuhku sedikit terhuyung karenanya. Setelah memberikan
pelukan singkat, beliau melepaskan diri dan menatapku. Matanya berkaca-kaca. Astaga, sampai kapan aku harus melihat
orang-orang yang menangis? Ucapku dalam hati.
“Non
pasti capekkan? Non harus istirahat. Non mau langsung tidur, atau mandi dulu,
atau makan dulu?” ucapannya yang beruntun itu membuatku pusing. “Aku mau..”
saat aku baru saja ingin menjawab perkataannya, tiba-tiba saja di potong. “Non masih inget saya kan?” Saat
beliau menanyakan hal itu seketika aku terdiam. Selama itukah aku meninggalkan
tanah kelahiranku?
“Tentu saja. Bi Sumi.” Jawabku
pelan, terdengar ragu. Aku sendiri ragu apakah aku masih ingat bagaimana diriku
dulu.
“Ya sudah Non , sekarang Non istirahat
aja. Biar nanti barang-barangnya dibawain sama si Bayu, satpam yang baru.”
Ucapnya sopan.
Setelah sampai di kamar aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Aku benar-benar lelah
setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, terbang New York – Jakarta.
Kemudian aku bangkit dan menegakkan
badanku. Awalnya aku berniat untuk mandi, tapi aku malah asyik bernostalgia di
kamarku. Aku berjalan mengelilingi kamarku. Aku berhenti untuk melihat
foto-foto yang ada di atas meja. Aku tertarik dengan sebuah foto. Di sana ada seorang gadis kecil yang
sedang tersenyum lebar sambil berangkulan dengan seorang anak laki-laki.
Tiba-tiba saja kenangan di masa lalu berputar bagaikan sebuah rol film.
Kai.
***
12 tahun lalu...
SDN
Teitan
“Kamu kenapa? Nggak punya temen
ya?” tanya seorang gadis kecil kepada
anak laki-laki yang duduk sendiri didalam kelas. Anak laki-laki itu hanya
menatapnya dengan dingin kemudian mengambil sebuah kubik rubik dari dalam
tasnya dan memainkannya. Merasa diacuhkan, sang gadis merebut kubik rubik
tersebut dari anak laki-laki itu.
“Namaku Nara. Dan aku paling
tidak suka diacuhkan.” Ucapnya sambil mengerucutkan bibirnya.
“Namaku Kai. Dan aku paling tidak
suka diganggu.” Jawab Kai seraya merebut kembali kubik rubiknya.
Dia tetap mengacuhkan Nara yang
masih cemberut. Karena tetap diacuhkan, akhirnya Nara duduk di depan Kai. Nara
memperhatikan Kai yang sedang bermain kubik rubik dengan tatapan kagum.
“Waahh... sepertinya itu
permainan yang seru.” Ucap Nara dengan riang. Sedangkan Kai hanya menatapnya
dengan sebelah alis yang terangkat. Apa
dia pikir ini mudah?
“Bolehkah aku mencobanya?” tanya
Nara.
“Boleh saja. Tapi jangan menangis
jika tidak bisa.” Balas Kai dengan nada sinis.
“Aku tidak akan menangis.” Ucap
Nara dengan bibir yang mengerucut.
Kai memberikan kubik rubiknya
kepada Nara, dan Nara menerimanya dengan senang hati. Nara memainkannya dengan
riang dan sangat percaya diri bahwa ia bisa menyelesaikannya.
Sepuluh menit. 20
menit. 30 menit.
Teet...teet...teet….
Sampai bel masuk berbunyi pun
Nara belum juga berhasil menyelesaikannya. Sedangkan Kai baru saja bangun dari
tidur singkatnya karena mendengar bunyi bel. Anak-anak mulai berdatangan ke
kelas. Kai melihat Nara masih berusaha keras untuk menyelesaikan kubik rubik
itu. Dia melihat keringat mulai keluar dari kening Nara. Heh, gadis bodoh yang tangguh.
“Kembalikan rubikku. Bel sudah
masuk, sebentar lagi guru akan datang.” Ucap Kai. Dia menopangkan dagunya di
tangan kanan, dan tangan kirinya disodorkan kedepan wajah Nara.
“Tunggu sebentar. Aku pasti bisa
menyelesaikannya.” Ucap Nara tanpa menoleh sedikitpun.
“Gadis bodoh.” Ucap Kai. Bibir
Kai sedikit terangkat saat mengatakannya.
“Nara. Minggir. Kembali ke tempat
dudukmu.” Usir seorang anak lelaki gembul.
“Tunggu... Bob.” Balas Nara dengan serius.
“Tapi Bu guru udah dateng.” Ucap
Boby gemas.
“Ehh, Bu guru udah dateng?” tanya
Nara kaget. Nara langsung bangkit dari tempat duduk Boby dan melihat kearah
depan. Dia melihat Bu Ajeng sedang duduk manis sambil menatapnya.
“Apa yang sedang kau lakukan,
Nara, sampai kau tidak menyadari kedatangan Ibu?”
“Maaf... aku tidak akan mengulanginya
lagi.” Ucap Nara dengan nada menyesal.
“Baiklah. Sekarang kembali ke
tempat dudukmu.” Ucap Bu Ajeng.
Nara kembali ke tempat duduknya.
Saat dia duduk, dia baru sadar bahwa dia masih memegang kubik rubik milik Kai.
Nara menolehkan kepalanya kearah belakang, tempat duduk Kai. Ternyata Kai juga
sedang menatapnya, tatapannya seolah-olah berkata
“Mau sampai kapan kau memainkan
rubikku. Sampai kapanpun kau tak akan bisa menyelesaikannya.” Di beri tatapan
seperti itu, Nara kembali menolehkan kepalanya ke depan kelas dengan bibir
mengerucut lucu.
Lalu dia memasukkan kubik rubik itu ke dalam tasnya. Dia pun tersenyum
puas. Dia sedikit memalingkan wajahnya ke belakang, dan benar saja, Kai sedang
menatapnya dengan tatapan kesal.
Teet... teet... teet....
Bel pulang sekolah sudah
berbunyi. Anak-anak mulai ribut membereskan barang-barangnya, begitupun Nara
dan Kai.
“Baiklah anak-anak, sampai
bertemu besok.” Ucap Bu Ajeng sebelum meninggalkan kelas.
Setelah Bu Ajeng meninggalkan
kelas, anak-anak berlomba-lomba meninggalkan kelas. Saat Nara baru mau keluar
kelas, tiba-tiba saja tangannya dipegang oleh seseorang. Dia menengok ke
belakang.
“Kai. Ada apa?” Tanya Nara kaget.
“Sebelum pulang, kembalikan dulu
rubikku.” Ucap Kai dingin.
“Lepaskan dulu tanganku.” Balas
Nara dengan sebal.
Setelah Kai melepaskan
pegangannya, Nara tidak melakukan apapun, dan tidak mengatakan apapun. Hening
menyelimuti mereka untuk beberapa saat sampai akhirnya Nara berlari dengan
kencang keluar kelas. Kai yang kaget hanya melongo. Kemudian saat dia sudah
sadar, dia menoleh kearah Nara berlari. Dia melihat Nara yang
melambai-lambaikan tangannya sambil tersenyum lebar.
“Rubikmu akan ku kembalikan besok.”
Teriak Nara.
Kai hanya bisa pasrah.
Dari awal dia sudah
merasa bahwa Nara bukanlah anak yang membawa keberuntungan. Dia hanya menghela
nafas dan berjalan menuju gerbang sekolah. Di sana sebuah mobil sedan sudah
menunggunya.
“Bagaimana sekolahmu hari ini
Tuan Muda?” Tanya
sang supir seraya membukakan pintu mobilnya.
“Lumayan.” Jawabnya singkat. Sang
supir hanya tersenyum maklum dengan tingkah Tuan Mudanya itu.
Esok
harinya.
Nara masuk kedalam kelas dengan
riang, dia semakin senang saat melihat Kai tengah membaca sebuah buku. Dia
menghampiri Kai sambil bersenandung. Kai mendongakkan kepalanya saat mendengar
langkah kaki yang semakin mendekat. Dan benar saja, didepannya kini berdiri
Nara dengan senyum lebarnya.
“Pagi.” Kai hanya menghela nafas tanpa berniat
membalas sapaan Nara.
“Aku sudah berhasil menyelesaikan
rubik itu.” Ucap Nara sambil mengulum senyum.
“Benarkah? Selamat kalau begitu.”
Ucap Kai skeptis.
“Mana?” tambah Kai.
“Ini.”
Nara menyerahkan sebuah rubik
yang sudah tersusun berdasarkan warnanya masing-masing. Kai menerimanya dan
mengamati dengan seksama kubik rubik itu. dan benar saja, dia menemukan jejak
“kecurangan” Nara. Kemudian dia menatap Nara yang tengah menatapnya juga dan
tersenyum. Senyum mengejek.
“Kapan?” tanya Kai. “Kemarin.
Kemarin aku menyelesaikannya.”
“Kapan kau membongkarnya?” Kai
mengulang pertanyaannya dengan lebih jelas.
“Hah?” Nara menatapnya bingung.
“Kau baru saja membongkarnya, kan?”
ucap Kai memperjelas.
Saat sudah mengerti apa yang
sedang dibicarakan Kai, Nara mengerucutkan bibirnya dan memasang wajah sebal.
“Habisnya... aku sudah berusaha tapi tetap
saja tidak bisa.” Keluhnya.
“Yasudah lah. Memang ini bukan
permainan selevel mu.”
“Huh. Kau ingin menyombongkan
dirikan, karena kau bisa dengan mudah menyelesaikannya.” Bantah Nara.
“Memang itulah kenyataannya.”
Balas Kai dengan ringan.
“Huh. Yasudah lah, kau memang
bukan orang selevel ku.” Timpal Nara dengan ringan, berniat untuk merendahkan Kai.
“Kau...” ucapan Kai terpotong
oleh bel masuk.
Teet...teet...teet....
Nara pergi meninggalkan Kai yang
hanya bisa menelan kekesalannya. Kelas pun di mulai dengan suasana yang
menyenangkan. Seperti suasana hati Nara saat ini. Dan sangat berbeda jauh dengan
suasana hati Kai saat ini.
“Baiklah. Selamat beristirahat
anak-anak. Ingat, jangan jajan sembarangan ya.” Ucap Bu Susi sebelum
meninggalkan kelas. Setelah itu, kelas pun mulai ramai karena anak-anak yang
berebut ingin pergi ke kantin.
“Nara, ayo.” Ajak salah satu
teman Nara, Putri.
“Ayo.” Sahut Nara.
Saat Nara bangkit dari tempat
duduknya, tak sengaja dia melihat Kai yang lagi-lagi sedang membaca buku.
Akhirnya dia menyuruh Putri untuk pergi duluan. Kemudian Nara menghampiri Kai.
“Ada apa lagi?” tanya Kai tanpa
menoleh.
“Apa kau tidak suka bermain?”
tanya Nara heran.
Kai hanya menatap Nara sebentar
dan melanjutkan membaca buku. Sedangkan Nara mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kau sebenarnya suka bermain.
Tapi kau tak bisa bermain karena tidak punya teman kan?” ucap Nara dengan nada
menyelidik. Kai hanya menatapnya tak habis pikir.
“Baiklah kalau begitu. Ayo kita
bermain bersama yang lain.” Nara menarik tangan Kai dan mengambil buku yang ada ditangannya kemudian meletakkannya
diatas meja.
“Hei, apa yang kau lakukan?
Lepaskan tanganku.” Berontak Kai. Tapi bukan Nara jika tak bisa berhasil
menaklukkan orang. Dan entah bagaimana,
Kai kini ada di tengah lapangan, di tengah keramaian bersama Nara dengan tangan
yang masih dipegang.
“Nah, sekarang aku akan
mengenalkan mu sebuah permainan tradisional yang ada didaerahku. Berkat ku,
permainan ini menjadi permainan yang cukup digemari anak-anak disini. Aku
sangat hebat kan.” Ucap Nara membanggakan dirinya.
Kai yang tangannya sudah terlepas
dari genggaman Nara hanya memutar kedua bola matanya jengah.
“Lalu apa yang akan kita lakukan
sekarang?” tanya Kai yang sudah mulai kesal.
“Oke. Sebelum itu kita harus
mencari orang lain untuk bermain permainan ini, karena tak akan seru jika hanya ada
kita berdua.” Jelas Nara.
“Baiklah, aku akan mengajak
anak-anak yang mungkin ada di kelas.” Ucap Kai seraya meninggalkan Nara. Namun
tangannya di tahan oleh Nara.
“Tidak perlu. Ada cara yang lebih
mudah untuk bisa mendapatkan teman bermain.” Ucap Nara sambil menyeringai. Kai
hanya menatapnya bingung. Kemudian Nara menarik nafas panjang, dan meletakkan
kedua telapak tangannya di sekitar mulutnya. Dan dia pun mulai berteriak dengan
lantang.
“SIAPA YANG MAU MAIN RAMBATAN?”
teriakan Nara membuat semua orang memperhatikannya. Sedangkan Kai hanya bisa
melongo dibuatnya. Tak lama kemudian beberapa orang berdatangan untuk menerima
ajakan Nara tadi. Kai semakin
melongo karena orang-orang yang berdatangan cukup banyak. Permainan macam apa sebenarnya ini? Tanya Kai dalam hati.
“Nah, apa ku bilang.” Ucap Nara
dengan bangga. Kai masih menatapnya tak habis pikir.
“Baiklah, karena disini sudah
cukup banyak pemainnya. Pertama-tama, aku akan menjelaskan bagaimana cara
bermain rambatan. Cara bermainnya adalah, pertama, kau harus mencari teman
untuk bermain. Kemudian menentukan siapa yang jaga. Penjaga disini berbeda
dengan penjaga saat bermain petak umpet. Penjaga disini adalah orang yang bebas
menyuruh pemain lain untuk memegang sesuatu.”
“Memegang sesuatu?” tanya Kai
bingung.
“Iya. Semisal aku sebagai penjaga
menyuruhmu dan yang lain untuk memegang tiang bendera yang ada disana. Kau dan
pemain yang lain harus berhasil memegang tiang bendera tersebut. Dan untuk
sampai ke tiang bendera itu, kalian harus memegang sesuatu dan merambatinya.
Dan jika kau tidak merambat pada satu benda pun, dan aku memegang atau
menyentuhmu, maka kau yang akan menggantikanku menjadi penjaga. Bagaimana?
Cukup jelaskan.” Tanya Nara dengan tersenyum.
“Aku tidak…” belum sempat Kai menyelesaikan
kalimatnya, lagi-lagi Nara memotongnya.
“Baiklah, sekarang ayo kita
tentukan siapa yang jaga.” Perintah Nara tersebut diikuti oleh anak-anak.
Cang kacang panjang yang panjang menang....
“Ishh. Sial. Kenapa harus
aku?” Desis Kai.
“Haha, Kai selamat. Baru bermain
kau sudah jadi yang jaga.” Ejek Nara.
“Kau. Akan ku pastikan kau yang
akan menggantikanku.” Balas Kai geram. Sedangkan Nara hanya
tersenyum meremehkan.
“Baiklah. Aku ingin kalian semua
memegang bendera itu.” Kai menunjuk sebuah bendera merah-putih yang berkibar
dengan memesona.
“Kau gila? Berarti kita harus
menurunkan bendera itu.” Bantah
Nara. Beberapa anak yang lain pun protes.
“Kau bilang penjaga memiliki hak
sepenuhnya untuk menyuruh pemain lain memegang sesuatu. Dan sekarang aku ingin
kalian memegang bendera yang sedang berkibar itu.” perintah Kai dengan senyum
penuh kemenangan.
“Baiklah. Aku akan memegang
bendera itu, karena aku sudah berhasil membuatmu tersenyum.” Ucap Nara dengan
senyum tulus.
Perkataan Nara membuat Kai sadar,
bahwa setelah dia pindah dia sama sekali belum tersenyum. Dan sekarang dia
tersenyum di hadapan teman-teman barunya. Dan yang baru dia sadari adalah, bahwa gadis
yang menurutnya menyebalkan inilah yang berhasil membuatnya tersenyum. Bukan
ayahnya, bukan juga ibunya.
Kai memperhatikan teman-temannya
yang sedang berusaha menurunkan bendera itu. mereka terlihat sangat bahagia.
Tapi ada satu orang yang entah kenapa terlihat lebih bersinar dari yang lain.
Tawa riangnya benar-benar menular, hingga membuat Kai tertawa kecil.
***
Nara’s view
“Hoaamm...”
Aku menguap sambil meregangkan
otot serta sendi ku. Aku melihat jam bekerku, jam 06.30 pagi. Aku lalu turun
dari ranjangku dan berjalan ke kamar mandi untuk mandi. Setelah selesai mandi
dan berpakaian, aku keluar kamar dan berjalan menuruni tangga menuju meja
makan. Di atas meja makan sudah tersedia roti lapis dan segelas susu putih
untuk sarapan. Aku langsung melahapnya karena aku memang sangat lapar. Karena
sejak kedatanganku kemarin, aku belum makan apapun karena aku langsung tidur.
“Pagi Non.” Sapa Bi Sumi dengan
senyum.
“Pagi.” Jawabku sekenanya.
“Setelah ini Non mau kemana?
Mobil sudah siap, tinggal berangkat aja Non.” Tambahnya.
Aku menelan sisa roti yang masih
ada di tenggorokan ku, dan menenggak susuku.
“Hari ini aku ingin pergi
sendiri. Bisakah aku mengendarai mobil sendiri?” tanyaku.
“Baiklah Non, saya akan bilang ke
supir kalo Non mau naik mobil sendiri. Kalo boleh tahu, emang Non mau
kemana?”
“Ke suatu tempat, Bi. Rahasia.”
Jawabku. Bi Sumi hanya mengangguk-anggukkan kepala.
“Baiklah, hati-hati di jalan,
Non.” Ucap Bi Sumi, beliau pamit undur diri setelah mengatakan itu.
Aku melihat kearah jendela. Hari yang cerah. Mama, Papa, aku pulang.
***
Akhirnya aku sampai ke tempat itu. Tempat peristirahatan terakhir
kedua orang tua kandungku. Tempat dimana aku harus rela melepaskan mereka untuk
selamanya. Aku masih sangat ingat saat-saat sebelum kecelakaan itu. Orang tuaku
bertengkar karena sebuah kesalahpahaman. Kesalahpahaman yang menghancurkan.
Aku melangkahkan kakiku kearah
makam kedua orang tuaku. Makam mereka berdampingan, dan terawat. Mungkin Bibi yang merawatnya.
Kemudian aku berjongkok untuk meletakkan bunga yang kubawa. Mawar putih, bunga
kesukaan Mama dan aku. Bunga yang melambangkan kemurnian hati dan cinta sejati.
Kemudian aku berdoa untuk
kebahagiaan mereka disana. Semoga mereka menemukan kebahagiaan yang sejati. Setelah
selesai berdoa aku bangkit berdiri. Aku melihat jam tanganku, pukul 09.00
pagi, waktunya aku pergi. Ada tempat lain yang ingin ku kunjungi.
Kemudian aku
keluar dari tempat pemakaman menuju tempat aku memarkirkan mobilku. Aku
melajukan mobilku ke suatu tempat. Tempat dimana semuanya berawal.
***
Akhirnya aku
sampai di tempat ini. Sepuluh tahun sudah aku tidak ke tempat ini. SDN
Teitan. Sekolahku dulu, tempat dimana aku bisa bermain dengan riangnya,
tempat dimana aku bisa merasakan kebahagiaan masa kecil. Tempat dimana untuk
pertama kalinya aku bertemu dengannya. Semuanya berawal dari tempat ini.
Setelah
memarkirkan mobilku, aku melangkahkan kakiku masuk melewati gerbang sekolah. Aku menyapa satpam sekolah yang baru.
Seingatku, satpam yang dulu sudah tua, apa beliau masih hidup? Aku terus
melangkahkan kakiku hingga menginjakkan kakiku di koridor sekolah tersebut. Aku
menghentikan langkah kakiku dan memperhatikan keadaan sekitar. Koridor tampak
ramai karena ini sudah jam istirahat. Aku melihat anak-anak yang menggunakan
seragam merah-putih sedang melakukan aktivitas yang berbeda-beda. Mereka tampak
bahagia, terlihat dari senyum mereka yang lebar. Kemudian aku mengarahkan
tubuhku kearah lapangan sekolah. Aku melangkahkan kakiku ke tepi lapangan.
Disana aku melihat anak-anak sedang bermain, semakin aku memperhatikan, aku
jadi tahu permainan apa yang sedang mereka mainkan. Permainan tradisional yang
aku kenalkan untuk pertama kalinya saat aku masih kelas 2 SD. Rambatan.
Dulu aku adalah murid pindahan.
Aku tipe orang yang sulit untuk berinteraksi, dan teman-teman pun tak ada yang
mau menyapaku lebih dulu. Akhirnya akulah yang pertama menyapa mereka. Teman
pertamaku di sekolah ini adalah Putri. Dia anak yang ceria tapi pemalu.
Kemudian temanku
pun mulai bertambah banyak.
Kemudian suatu hari, saat aku dan
teman-temanku sedang mengalami krisis permainan, aku teringat bahwa di daerahku
dulu ada sebuah permainan tradisional yang terkenal. Dan sejak
itulah permainan Rambatan terkenal dan cukup digemari di sekolah ini.
Mengingat diriku saat pertama
kali menjadi murid pindahan, yang pendiam dan tidak memiliki teman,
mengingatkanku dengan seseorang. Seseorang di masa lalu. Tiba-tiba saja
sekelebat kenangan di masa lalu terputar kembali di otakku.
***
“Hey, ayolah. Apa kau sudah
menyerah, hah?” tanya Nara kepada Kai.
“Curang. Dari awal selalu aku
yang jaga. Lalu kapan bagian yang lain?” protes Kai.
“Ini bukan curang, bodoh. Tapi
kau saja yang tidak pandai bermain.” Balas Nara sarkastis.
“Kau tahu, di beberapa permainan
kita bisa menggunakan trik untuk mengalahkan lawan. Apa kau tak berpikir sampai
kesitu?” tambah Nara saat melihat bibir Kai yang mengerucut.
Kemudian seperti mendapat
pencerahan, Kai menyeringai. Kemudian dengan bersemangat dia
menyuruh
teman-temannya yang sedang duduk karena lelah bermain untuk berdiri. Kemudian
Kai menggosok-gosokkan tangannya sambil menyeringai. Anak-anak yang lain hanya
menatapnya ngeri,
termasuk Nara. Mereka semua memikirkan hal yang sama, apa yang sedang Kai
rencanakan?
“Baiklah... untuk semua. Aku ingin kalian memegang…” Kai diam sejenak sebelum
menyelesaikan ucapannya. Anak-anak mendengarkan dengan takut-takut.
“Aku ingin kalian memegangku.”
Lanjut Kai.
Setelah mengatakannya Kai langsung berlari
menjauhi teman-temannya yang sedang berkumpul. Teman-temannya hanya bisa
melongo, tak percaya dengan perintah yang baru
saja diberikan oleh
Kai. Kai berlari sambil menatap teman-temannya yang masih belum bergerak. Dia
tersenyum puas. Sepertinya rencananya akan berhasil. Namun
tiba-tiba saja dari kumpulan teman-temannya, ada satu anak yang mulai berlari
mengejarnya. Nara.
Melihat Nara
berlari mengejarnya membuat Kai berhenti berlari. Kini dia benar-benar membalikkan
badannya ke belakang. Dia menatap Nara, melihat Nara benar-benar membuatnya tak
berkutik. Nara semakin dekat dengannya, tapi dia masih diam saja. Melihat Kai
yang tak bereaksi membuat Nara juga menghentikan langkahnya. Jarak mereka kini
hanya sejauh satu
meter. Nara sedikit menelengkan kepalanya ke samping dan menatap Kai bingung.
Tiba-tiba saja Kai mengulurkan tangannya dan membuat Nara menegakkan kembali
kepalanya dan mulai mundur. Saat dia melihat Kai mulai maju mendekat ke arahnya
sambil menyeringai,
akhirnya dia membalikkan badan dan mulai berlari. Kai pun ikut
berlari mengejar Nara. Akhirnya Nara dan Kai hanya berlari-lari mengelilingi
lapangan. Orang-orang
yang ada di situ
mulai memperhatikan mereka. Teman-temannya bahkan sudah menertawakannya.
Teet... teet... teet….
Bel masuk pun berbunyi. Namun
sepertinya Nara dan Kai belum berniat untuk berhenti berlari. Anak-anak yang lain
sudah mulai masuk ke kelas masing-masing. Dan lapangan pun mulai sepi, hingga
yang tersisa hanya mereka berdua.
“Hei. Mau sampai kapan kau
mengejarku, hah?” teriak Nara dengan nafas tersengal.
“Sampai kau
berhenti melarikan diri.’’ Jawab Kai.
Nara yang
sudah mulai lelah pun memutuskan untuk berhenti berlari. Kai yang tidak
menyangka Nara akan berhenti akhirnya menabrak Nara. Mereka bertabrakan cukup
kencang hingga membuat mereka jatuh. Mereka jatuh dengan berpelukan, mereka pun
saling bertatapan dan mulai tertawa. Mereka sama-sama tidur terlentang dan
tertawa sangat lepas. Tingkah
mereka menarik perhatian anak-anak yang ada di kelas untuk melihat mereka dari
jendela.
“Nara. Kai. Apa yang kalian
lakukan di lapangan, hah?” tanya seorang guru dengan galak.
Nara dan Kai
buru-buru bangkit berdiri. Mereka
berdiri dengan menundukkan kepalanya. Mereka pun dimarahi oleh guru tersebut.
Saat sedang dimarahi, mereka saling lirik. Kemudian mereka terkikik bersama.
“Kalian. Apa kalian tidak
mendengarkan Ibu, hah. Pulang sekolah nanti kalian harus datang ke ruangan Ibu.
Sekarang kalian kembali ke kelas.” Setelah mengatakan itu, guru tadi
meninggalkan mereka.
Setelah guru itu pergi, Kai dan
Nara pun mulai tertawa. Benar-benar pengalaman yang menyenangkan dan tak
terlupakan.
***
Kai’s
view
Saat di
perjalanan pulang
dari makam orang tua Nara, entah kenapa aku ingin datang ke SDku dulu. Rasanya
aku ingin mengenang kembali masa kecilku dulu. Akupun melajukan jeepku
menuju SDN Teitan.
Aku sampai di SD ku tak sampai satu jam. Kemudian aku memarkirkan
mobilku di sebelah mobil sedan warna putih. Aku keluar dari jeep ku, aku
kembali memperhatikan mobil sedan itu. Entah kenapa mobil ini terasa tidak
asing. Sepertinya aku pernah melihat mobil ini. Setelah itu aku segera masuk ke sekolah. Aku
menyapa satpam sekolah yang baru. Satpam sekolah ini diganti karena satpam yang
lama telah meninggal, untungnya aku sempat menghadiri acara pemakamannya.
Kemudian aku kembali melangkahkan
kakiku masuk ke gedung sekolah. Suasana sekolah sepi karena sedang jam
pelajaran, jam istirahat sepertinya sudah lewat. Saat aku sedang berjalan di
koridor kearah taman sekolah, tiba-tiba angin berhembus dari arah depanku.
Membawa aroma sesuatu yang sangat familiar. Aroma yang kucium saat di makam
tadi. Aroma yang selalu kusukai, sejak aku kelas 4 SD. Aroma milik seseorang
yang membuatku bisa menikmati masa kecilku. Orang yang sangat aku rindukan dan
sangat ingin kutemui.
Aku berlari kearah taman. Di
taman aku hanya melihat bangku kosong yang diatasnya ada sebuah buku. Aku
mendekat kearah bangku taman, kemudian aku mengambil buku tersebut. Aku melihat
kover buku tersebut, ini adalah Buku Tahunan Siswa angkatanku. Aku mulai
membuka-buka buku tersebut. Siapa yang
meletakkan buku ini disini? Tanyaku sambil membolak-balik buku tersebut.
Saat aku sedang membolak-balik buku tersebut, tiba-tiba saja aku mendengar
suara wanita.
“Maaf, itu buku milikku.” Ucap
wanita tersebut yang membuatku kaget.
Saat aku menolehkan kepalaku
untuk melihat siapa pemilik buku ini, tiba-tiba angin berhembus dari arah depan
membuatku mau tak mau menutup mata, takut terkena debu. Saat hembusan angin mulai
tenang, aku membuka mata. Aku melihat seorang wanita berambut panjang dengan
wajah oval. Satu kata dariku untuk mendeskripsikan wanita tersebut, cantik. Tapi rasanya wanita ini sangat
familiar. Kami bertatapan cukup lama, sampai aku menyadarinya.
“Nara...” ucapku lemah.
Aku tahu siapa wanita yang ada
didepanku ini. Wanita yang selama ini ku tunggu kehadirannya, yang kukira
hanyalah sebuah mimpi aku bisa bertemu lagi dengannya. Aku yakin jika wanita
ini adalah Nara. Aku hampir saja memeluknya jika tidak melihat tatapannya.
Wanita ini menatapku dengan wajah bingung, dia sedikit menelengkan kepalanya ke kanan. Tiba-tiba aku merasa malu.
Malu karena ternyata sudah salah mengira orang.
“Oh maaf. Sepertinya aku salah
orang. Dia adalah temanku saat SD. Teman pertamaku setelah aku pindah kesini.”
Ucapku buru-buru,
takut membuatnya salah paham.
“Ini bukumu kan? Maaf aku
menemukannya ada di atas
bangku taman. Kukira ini adalah milik salah satu teman angkatanku.
Ini,
aku kembalikan. Sekali lagi aku minta maaf.” Ucapku sambil menyerahkan buku
itu.
Kulihat dia sudah menegakkan
kepalanya. Dia menatap lurus kedepan, tapi tatapannya kosong. Aku
mengibas-kibaskan tanganku di depan
wajahnya, berniat untuk menyadarkannya. Kemudian dia tersentak kaget. Lalu dia
menatapku, aku balas menatapnya bingung. Lama kami bertatapan, tatapan ini
benar-benar mengingatkanku pada Nara. Aku melihat bagaimana ekspresi wanita
ini. Dia masih menatapku, namun dengan tatapan yang tak bisa kujelaskan.
“Hei, apa kau baik-baik saja?”
Tanyaku sedikit khawatir.
Dia hanya diam saja, tak berniat
untuk menjawab. Tapi saat aku ingin menanyakan keadaannya lagi, dia membuka
mulut. Aku menunggunya untuk berbicara. Dengan ragu-ragu dia mengeluarkan
suaranya. Sangat pelan sampai aku tak mendengarnya. Kemudian aku menyuruhnya
untuk mengatakannya lagi dengan suara yang lebih keras.
“Kai...” Dia mengatakannya masih dengan
suara yang kecil. Tapi angin menyampaikan suaranya dengan sangat jelas.
Aku langsung menolehkan wajahku
menatap wajahnya. Wanita ini juga sedang menatapku. Jantungku berdegup dengan
kencang. Inikah saatnya? Inikah waktu pertemuanku kembali dengannya? Tiba-tiba
saja Nara menitikkan air matanya. Dia buru-buru menghapus air matanya
menggunakan punggung tangannya.
“Maaf, sepertinya aku terlalu
bahagia bisa bertemu denganmu. Aku belum pernah seperti ini sebelumnya.”
Ucapnya.
Perkataannya membuatku segera
menariknya kedalam pelukanku. Aku memeluknya sangat erat seakan takut ada orang
lain yang akan mengambilnya dariku. Isakan-isakan kecil mulai terdengar. Aku
tahu dia sedang melewati masa-masa yang sulit dalam hidupnya. Dan aku ingin
akulah yang ada disampingnya, menemaninya melalui masa-masa itu. Aku membiarkan
dia menangis, menunggunya sampai dia lelah untuk menangis. Sampai semua beban
berat yang dipikulnya terangkat.
***
Kita duduk berdampingan di bangku
taman. Kami berdua hanya saling diam, tak tahu harus mengatakan apa? Tapi, menurutku
begini sudah lebih dari cukup. Setidaknya aku bisa mengawasinya dan memastikan
bahwa dia baik-baik saja. Aku benar-benar takut kehilangannya lagi.
Aku menatap wajahnya yang sedang
menatap lurus ke depan
dari samping. Apa yang sedang dia
pikirkan? Dia semakin cantik dari terakhir kali kulihat, sepuluh tahun yang lalu. Dan dia
benar-benar kehilangan senyumnya. Sekarang yang aku pikirkan adalah, apakah aku
bisa mengembalikan senyumnya itu? Senyum yang sangat aku sukai. Senyum yang
mampu menularkan
kebahagiaan.
“Bagaimana kabarmu?” Tanya Nara
pada akhirnya.
Dia menatapku, menunggu jawaban
dariku. Aku jadi sedikit salah tingkah ditatap Nara seperti itu. aku
menggosok-gosok tengkukku, grogi.
“A... aku... aku baik-baik saja. Bagaimana
denganmu?” Ucapku
sedikit terbata.
“Seperti yang kau lihat. Aku... baik-baik saja.” Dia menjawab
dengan nada yang meragukan.
“Kapan kau kembali?” tanyaku
lagi.
“Kemarin siang aku sampai.”
Jawabnya singkat.
“Kau tak mengabari ku?”
“Aku takut.” Balasnya lemah.
“Kau takut padaku?”
Aku tahu pertanyaan-pertanyaanku akan
membuatnya merasa terpojok. Tapi biarlah, aku benar-benar ingin tahu yang ada
dipikirannya.
“Bukan begitu. Aku hanya takut
bertemu orang-orang yang ada di masa laluku.”
Jawabannya benar-benar membuatku
kaget dan sedikit emosi. Aku jadi merasa, aku ini tidak memiliki arti
apa-apa baginya. Padahal selama ini aku selalu memikirkannya..
“Aku takut jika harus mengenang
masa lalu, karena yang akan teringat olehku hanyalah kecelakaan itu.” tambahnya
dengan nada sedih dan menundukkan kepalanya.
Sekarang aku benar-benar marah.
Tapi aku marah pada diriku sendiri, karena aku tidak ada saat dia melalui masa
tersulit dalam hidupnya. Kemudian aku bangkit dari dudukku, membuat Nara menolehkan kepalanya melihatku. Aku
berdiri menghadapnya, kuulurkan tanganku. Aku menunggunya menyambut tanganku.
Kemudian dia menerima uluran tanganku. Aku menariknya untuk berdiri.
“Mulai sekarang, tak akan ada
lagi kesedihan yang mengikatmu. Mulai sekarang, aku akan selalu ada disisimu,
menjadi sumber kebahagiaanmu.” Ucapku sambil tersenyum lembut.
Aku
membelai wajahnya lembut. Menunggunya memberiku jawaban atas pernyataanku.
“Iya.” Jawabnya
pelan, tapi aku bisa mendengar nada percaya dari suaranya itu.
Dan untuk pertama kalinya setelah sepuluh tahun, aku melihat senyumannya.
Senyuman favoritku. Dan mulai sekarang aku berjanji pada diriku, aku akan
selalu membuatnya bahagia. Selamanya.
***
Nara’s view
Tuhan, seperti
katanya. Mulai sekarang, detik ini, aku hanya akan mengizinkan diriku untuk
bahagia. Tak akan ku biarkan kesedihan mendatangiku, bahkan hanya sekedar
menyapa.
Mama, Papa,
sekarang aku sudah menemukan kembali kebahagiaanku. Mom, Dad, terima kasih untuk
semuanya.
Sekarang aku percaya bahwa setiap
manusia memang memiliki kebahagiaannya masing-masing. Dan dia
berhak atas kebahagiaannya itu.
Sebenarnya, bahagia itu sederhana. Tapi ternyata, aku memilih untuk membuat
kebahagiaanku terasa sulit untuk kudapat. Tapi sekarang, bersama Kai, aku yakin
aku bisa menjalani sisa hidupku dengan penuh kebahagiaan.
Aku yakin itu.
***
Hei Kai, bagaimana
menurutmu tentang arti dari kebahagiaan itu?
Menurutku bahagia
itu sederhana. Karena aku
bisa merasa bahagia karena hal-hal yang sederhana.
Oh ya? Bisa kau
berikan satu hal sederhana yang membuatmu bahagia itu?
Emm...baiklah. Tapi… apa kau benar-benar ingin tahu?
Tentu saja.
Baiklah. Apa kau
mau bermain rambatan
lagi denganku?
Hah?
Bermain rambatan denganmu adalah satu dari
sekian kebahagiaanku. Karna sudah ku bilang, bahagia itu sederhana.
Baiklah, ayo kita
bermain
lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar